Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) menyampaikan bahwa peluang konvergensi antara layanan satelit dan seluler masih terbuka di industri telekomunikasi, di tengah disrupsi satelit orbit rendah Starlink.
Ketua Umum ASSI Anggoro Kurnianto Widiawan mengatakan bahwa sinergi dalam ekosistem industri satelit menjadi hal yang terus menerus diupayakan. Hal ini mengingat industri telekomunikasi bergerak secara dinamis.
“Peluang konvergensi antara layanan satelit dan seluler menjadi peluang yang terbuka untuk dikembangkan bersama-sama, sehingga masing-masing pelaku industri telekomunikasi memiliki value yang unik, yang pada akhirnya ekosistem satelit dapat berkelanjutan,” kata Anggoro dalam acara APSAT International Conference ke-20 di Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Anggoro menuturkan bahwa peluang tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan perluasan ekosistem satelit, terutama munculnya layanan Non-Geostationary Orbit (NGSO) yang membutuhkan sistem darat yang kuat untuk mendukung berbagai aplikasi dan layanan.
Menurutnya, seiring dengan diversifikasi layanan, maka infrastruktur darat dan jaringan harus memenuhi tuntutan yang terus berkembang. Alhasil, diversifikasi ini menuntut produsen untuk terus berinovasi agar tetap menjadi yang terdepan.
“Persaingan layanan dari waktu ke waktu itu sesungguhnya tidak hanya pada dimensi konektivitas, tetapi juga values yang melekat di dalamnya juga bisa dikembangkan menjadi bisnis yang semakin unik, untuk pasar yang juga punya karakteristik khusus,” ujarnya.
Anggoro pun menekankan bahwa masa depan bisnis konektivitas satelit masih menyimpan potensi yang sangat besar. Sektor maritim di Indonesia, misalnya, dengan keberadaan 17.000 pulau dan letak geografis yang juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi jaringan terestrial tradisional.
Menurut Anggoro, komunikasi satelit akan menjadi solusi penting untuk memastikan konektivitas yang baik di seluruh wilayah maritim terpencil.
Meski demikian, Anggoro menuturkan bahwa persebaran layanan satelit di sektor maritim saat ini masih terkendala beberapa hal, yaitu biaya operasional yang tinggi dan kebutuhan peralatan yang menyesuaikan dengan wilayah laut.
“Semangat saling membantu mencari solusi, baik terkait penyesuaian teknologi, juga regulasi yang mungkin saja bisa menjadi jalan tengah bagi keberlangsungan ekosistem bisnis satelit secara menyeluruh,” tuturnya.
Di sisi lain, ASSI menyebut bahwa para operator satelit di Indonesia telah menyiapkan kapasitas satelit yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan ini sejalan dengan perkembangan teknologi satelit, baik High Throughput Satellite (HTS) maupun konstelasi Nongeostasioner (NGSO).
Terlebih, Asian Development Bank (ADB) memperkirakan kebutuhan kapasitas satelit di Asia Pasific untuk tahun 2024 mencapai lebih dari 400 Gbps.
Sementara menurut NSR, kebutuhan kapasitas HTS baik HTS GSO maupun HTS NGSO pada 2024 lebih dari 340 Gbps.
PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat), misalnya, pada 2024 akan memiliki total 45 Gbps kapasitas satelit GSO (Satelit Merah Putih, HTS-113BT, Apstar-5D, Mysat-1) dan 180 Gbps kapasitas satelit NGSO (Starlink).
Kapasitas tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa sektor yang meliputi ISP, pemerintah, banking & enterprise, sekolah, rumah sakit, serta wholesale kepada operator telekomunikasi lainnya.
Sementara Pasifik Satelit Nusantara (PSN) melihat broadband market masih sebagai salah satu pasar yang menjanjikan bagi operator satelit.
Adapun sebagai strategi dalam memenuhi kebutuhan pasar, PSN akan menyediakan 165 Gbps kapasitas satelit GSO (Nusantara-1 dan Satria-1) serta rencana peluncuran satelit NUSANTARA-5 dengan kapasitas satelit sebesar 165 Gbps untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah Indonesia, Malaysia, dan Filipina.