Starlink Elon Musk Gerus Bisnis Satelit GSO, Proyek Satria-2 Lanjut atau Putus?

Leo Dwi Jatmiko, Rahmad Fauzan, Rika Anggraeni
Rabu, 29 Mei 2024 | 21:49 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemain satelit mulai khawatir dengan kehadiran Starlink milik Elon Musk yang menyasar pasar ritel dan korporasi. Dengan harga yang relatif murah, Starlink dengan cepat merebut pasar satelit Geostationer (GSO). Menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan proyek Satelit Satria-2 dan pasar dari Satria-1. 

Diketahui, Satria-1 merupakan proyek strategis nasional (PSN) yang menghabiskan biaya sebesar Rp8 triliun untuk konstruksi. Satelit berkapasitas 150 Gbps ini berhasil meluncur tahun lalu dan bakal melayani 37.000 titik di mana setiap titik mendapat internet berkecepatan sekitar 4 Mbps - 20 Mbps. Lebih lambat dari Starlink yang sejauh ini mampu memberikan kecepatai di atas 200 Mbps per titik.

Dalam perkembangannya, Badan Akesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) berencana untuk menambah satelit baru bernama Satria-2. 

Pada 15 Desember 2023, Kepala Divisi Infrastruktur Satelit Satria Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea mengatakan pengadaan Satelit Satria-2 akan mengandalkan pinjaman dari negara asing. Rencananya satelit tersebut membutuhkan dana sebesar Rp13,7 triliun atau US$884 juta, termasuk biaya stasiun bumi. 

“Negara-negara asing pemilik teknologi yang berminat ada China, Amerika Serikat, Inggris,dan Prancis. Jadi nanti satelitnya dibangun di sana dengan teknologi mereka,” kata Aradea kepada Bisnis, Jumat (15/12/2023). 

Dia mengatakan keempat negara tersebut memiliki teknologi yang terbaik perihal satelit ini. 

Satria-2 merupakan bagian dari rencana strategis (renstra) Kemenkominfo 2020-2024. Satria-2 memiliki kapasitas 2 kali lipat lebih besar dari Satria-1 yaitu 300 Gbps. Tujuan kehadiran satelit ini adalah untuk memberikan internet yang lebih mumpuni di daerah rural. 

Sayangnya, belum matang proyek ini dibahas, pemerintah kemudian membuka diri kepada Elon Musk untuk mengeruk ‘kue’ pemain sateit dalam negeri lewat Starlink. 

Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) melaporkan sejumlah pelanggan VSAT pemain satelit eksisting pindah ke Starlink karena harga yang mereka tawarkan lebih murah.

Sekjen ASSI Sigit Jatiputro mengatakan bahwa harga internet VSAT lokal unlimited yang paling murah dibanderol Rp3,5 juta per bulan, sedangkan harga Starlink unlimited hanya Rp750.000 per bulan.

Begitu pun dengan harga perangkat dari pemain lokal adalah Rp9,1 juta, sedangkan promosi yang ditawarkan Starlink adalah Rp4,6 juta.

Dari sana, Sigit melihat bahwa pemain eksisting VSAT lokal sudah terlihat mengalami sinyal penurunan dari segi penjualan untuk segmen bisnis korporasi dan ritel, meski Starlink baru beroperasi di Tanah Air, tepatnya pada 19 Mei 2024.

“VSAT itu jarang dipakai di ritel, kebanyakan di bisnis. Nah, Starlink yang residensial bisa dipakai di bisnis. Jadi, sebenarnya harga di bisnis lebih murah dan di ritel, tetapi masalahnya kami terimbas baik di korporasi dan ritel,”  kata Sigit saat ditemui di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Harga langganan Satelit Lokal vs Satelit Starlink/dok Assi
Harga langganan Satelit Lokal vs Satelit Starlink/dok Assi

Nasib Satria-2

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa Satelit GSO dan NGSO memiliki pasar yang berbeda. Sebagai contoh, BRISAT, kata Heru, tidak akan beralih ke Starlink.

Adapun pasar yang bersinggungan, kemungkinan adalah pasar satelit yang memberi layanan internet seperti milik Bakti. Satelit seharga Rp8 triliun tersebut berpotensi sia-sia.

“Satelit Bakti untuk kesehatan, saat Starlink masuk ke kesehatan, Satria jadi mubazir. Harusnya Kemenkes berpikir bahwa sudah dibantu oleh Kemenkominfo. Seharusnya menggunakan Satelit Bakti, dan sekarang malah menggunakan satelit yang berbayar,” kata Heru kepada Bisnis. 

Heru mengatakan dengan hadirnya Starlink ada kemungkinan target pasar Satelit Bakti akan berubah. Heru mengatakan antara satelit Starlink dan Bakti memiliki perbedaan yang mencolok, dari sisi kapasitas dan kecepatan. Namun, untuk ketangguhan, satelit HTS sudah terbukti. Sementara itu satelit Starlink masih belum teruji.

“Umur dari Starlink itu sekitar 5 tahun di mana mereka nanti akan mengganti satelit lagi. Proses mengganti satelit itu kan belum terjadi apakah bisa dilakukan atau tidak [belasan ribu satelit diganti] Masa uji coba Starlink belum tahap stabil. Masa pergantian satelit kan butuh investasi yang besar dan tidak mudah,” kata Heru. 

Ground Segmen Satria-1
Ground Segmen Satria-1

Sementara itu, pakar sekaligus konsultan satelit Kanaka Hidayat mengatakan program Satelit Satria-1 tetap berjalan, dan sementara ini masih make sense karena control & monitoring ada 100% di pihak BAKTI

“[Selain itu] Karena BAKTI melaksanakan program secara bulk, maka pembiayaan msh cukup kompetitif dibanding Starlink,” kata Kanaka. 

Sementara itu mengenai masa depan proyek Satria-2, Bakti belum menjawab pertanyaan Bisnis. Proyek senilai Rp13 triliunan tersebut belum diketahui bakal dilanjutkan atau diputus.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper