Kemenkominfo Tak Akan Intervensi Tarif Layanan Starlink di RI

Rika Anggraeni
Kamis, 2 Mei 2024 | 19:51 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyerahkan sepenuhnya kebijakan penarifan layanan satelit Starlink kepada Elon Musk saat beroperasi di Indonesia.  

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemerintah tidak mengintervensi harga layanan internet Starlink di Tanah Air.

“Soal keekonomisan [tarif layanan] kan pemerintah nggak campur, yang penting kalau harga segini di market bisa, ya, silakan, kita nggak ngatur soal harga,” ujar Budi saat ditemui di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT), Depok, Kamis (2/5/2024).

Budi menuturkan jika Elon Musk mematok harga layanna Starlink lebih murah, pihaknya akan melakukan langkah lebih lanjut.

Dikutip dari laman resmi Starlink, Kamis (2/5/2024), Elon Musk mematok harga layanan internet senilai Rp750.000 per bulan. Biaya yang dikeluarkan tersebut belum termasuk perangkat keras dan biaya lain, seperti pengiriman dan penanganan. Perangkat keras Starlink sendiri dibanderol Rp7,8 juta, sedangkan biaya pengiriman dan penanganan dipatok Rp345.000.

Budi menuturkan bahwa uji coba Starlink akan dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dijadwalkan pada pertengahan Mei 2024. Nantinya, satelit orbit bumi rendah atau low earth orbit (LEO) milik Elon Musk itu menggunakan spektrum global, di mana titik lokasi satelit tersebut akan tersebar di beberapa titik.

Sebelumnya, riset BMI memperkirakan masuknya Starlink ke Indonesia berpotensi mengubah lanskap telekomunikasi secara signifikan. Indonesia juga dinilai lebih longgar dalam memberikan keluasan bagi Starlink untuk melayani pasar dalam negeri dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam.

Dalam riset itu, kemungkinan besar Starlink beroperasi di Indonesia karena tidak ada rencana konstelasi broadband satelit lokal yang dimiliki oleh negara dan kerangka kedaulatan data yang kurang ketat dibandingkan dengan beberapa pasar seperti di Thailand dan Vietnam.

Kedua negara tersebut telah memberlakukan pembatasan yang membatasi akses pasar Starlink dan profitabilitas operasionalnya.

Di Thailand, misalnya, regulasi yang ketat telah membatasi prospek bagi penyedia layanan satelit asing yang ingin menyediakan layanan domestik seperti konektivitas broadband yang harus memperoleh tiga lisensi.

Sistem sebelumnya dibentuk sebagai lisensi 'gateway' yang hanya mengizinkan aplikasi dari perusahaan domestik atau joint venture dengan setidaknya 51% kepemilikan oleh perusahaan lokal. Alhasil, aturan baru akan membagi regulasi terakhir tersebut menjadi tiga lisensi baru, yaitu untuk fasilitas stasiun gateway, hak pendaratan untuk sinyal satelit uplink dan downlink, dan layanan komersial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper