Bisnis.com, JAKARTA — PT XL Axiata Tbk. (EXCL) menilai kehadiran satelit internet Starlink yang akan beroperasi di Indonesia berpotensi mengancam dan menggerus bisnis perusahaan telekomunikasi jika jumlahnya terus bertambah.
Jumlah yang besar akan membuat struktur biaya mereka menjadi lebih ramping, yang berdampak pada layanan yang makin murah.
Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini mengatakan bahwa untuk saat ini lebar cakupan kapasitas frekuensi (bandwith) yang ditawarkan Starlink masih terbatas. Begitu pun dengan cost structure alias struktur biaya yang merupakan komposisi biaya yang dikeluarkan terbilang mahal.
Namun, kata Dian, jika Starlink terus menambah jumlah satelit dan bandwith yang jauh lebih banyak, serta memiliki struktur biaya yang lebih kecil akan mengancam bisnis perusahaan telekomunikasi.
“Kami melihat kalau mereka [Starlink] nanti bisa menambah satelit dan kapasitas jauh lebih banyak, nanti struktur biayanya lebih kecil itu baru akan menjadi ancaman,” kata Dian saat ditemui di XL Axiata Tower, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Data Ookla, lembaga independent pengukur kecepatn jaringan mengungkapkan, Starlink di Swiss memiliki salah satu median kecepatan unduh tercepat di antara negara-negara dengan Starlink selama kuartal II/2023 sebesar 122,47 Mbps.
Kemudian, di Denmark, Starlink memiliki kecepatan unduh 117,38 Mbps, Austria adalah 111,91 Mbps, Belgia memiliki kecepatan unduh 111,20 Mbps, dan Hongaria dengan kecepatan unduh 108,97 Mbps.
Starlink juga tersedia di Prancis dengan kecepatan unduh 107,56 Mbps, Irlandia mencatat kecepatan unduh 104,42 Mbps, Estonia sebesar 102,38 Mbps, Portugal sebesar 101,75 Mbps, dan Latvia memiliki kecepatan unduh sebesar 100,94 Mbps.
Adapun, berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, layanan Starlink ke Indonesia terbagi dua, yaitu korporasi dan ritel.
Layanan ritel Starlink tidak memiliki garansi throughput (best effort service). Layanan ini diberikan berupa performa standar, antena yang lebih kecil, dan kecepatan maksimal 250 Mbps, serta hanya tersedia konten layanan akses internet.
Sedangkan layanan korporasi memiliki garansi throughput minimal, high performance, antena yang lebih lebar dan kecepatan sampai dengan 500 Mbps. Layanan korporasi Starlink di Indonesia dapat diisi dengan konten sebagai link atau sebagai backhaul akses internet.
Kemudian, dari sisi perangkat penangkap sinyal antara pasar korporasi dan pasar ritel berbeda. Terminal antena penangkapan sinyal untuk korporasi memiliki performa yang mumpuni dengan tinggi antena mencapai 575 mm dan lebar 511 mm. Untuk pasar ritel memiliki performa standar dengan tinggi antena 513 mm dan lebar 303 mm.
Berdasarkan laman resmi Starlink, harga paket langganan satelit rendah milik Elon Musk dibanderol Rp750.000 per bulan. Namun, harga tersebut belum termasuk perangkat keras senilai Rp7,8 juta, serta pengiriman dan penanganan dengan biaya Rp345.000.
Dian menuturkan bahwa potensi ancaman Starlink belum dapat dipastikan kapan bakal terjadi. Yang jelas, dia menyampaikan bahwa teknologi akan terus bergerak semakin cepat.
“Yang pasti, kami berharap pemerintah bisa memberikan playing field yang sama. Kalau kami bayar BHP mahal, USO, dan sebagainya, seharusnya sama atau equal treatment,” ujarnya.
Menurut Dian, Starlink lebih cocok dioperasikan di daerah pedalaman (rural area), karena opsi untuk menjangkau daerah ini memerlukan teknologi yang mahal.
“Tetapi kalau nanti Starlink teknologinya lebih maju sehingga mereka di kota bisa menjadi lebih murah, di sana terjadi kompetisi yang head-to-head dengan kita,” tuturnya.