Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai kebijakan batas pemakaian normal atau Fair Usage Policy (FUP) yang diterapkan oleh penyedia jasa internet (ISP) cenderung merugikan konsumen yang mendambakan layanan internet cepat dan stabil.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan FUP memberikan ketidakadilan kepada pengguna, terlebih mereka yang menginkan kecepatan internet.
“Karena ketika berlangganan dengan sistem kecepatan, maka dalam 1 bulan kecepatannya harus terjaga dengan kecepatan yang sama. Tidak ada batasan kuota. Kalau tidak terjaga, ini merugikan konsumen, karena mereka berlangganan berdasarkan kecepatan,” kata Heru kepada Bisnis, Selasa (12/3/2024).
Untuk diketahui, Fair Usage Policy atau FUP adalah batas pemakaian normal, yakni kebijakan yang ditetapkan operator telekomunikasi untuk membatasi pemakaian internet. Nantinya, jika akses internet sudah melebihi batas FUP yang ditentukan, maka kecepatan internet akan menurun.
Misal, ketika ada pengguna membeli paket internet dengan batas FUP 20 GB, artinya mereka masih bisa memperoleh akses internet dengan kecepatan maksimal pada 20 GB pertama, selama paket masih aktif.
Namun demikian, ketika penggunaan internet sudah melewati 20GB, kecepatan akses internet akan berkurang sesuai dengan FUP atau Fair Usage Policy yang ditentukan.
Senada, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan bahwa FUP merugika konsumen.
Namun, dia juga menilai bahwa ISP tidak salah sepenuhnya dalam menerapkan hal tersebut karena pengguna internet kerap menyalahgunakan paket yang didapat secara unlimited, untuk kemudian dijual lagi kepada pelanggan lain secara eceran.
“ISP merasa rugi, ada beberapa pelanggannya malah menjual ulang lagi. Jadi kaya semacam RT RW Net,” kata Tesar.
RT RW net adalah layanan jaringan internet yang dioperasikan oleh warga setempat di suatu lingkungan atau kompleks. RT RW Net menawarkan layanan internet dengan biaya yang relatif murah, khususnya di daerah yang masih belum tersedia jaringan internet.
Tesar mengatakan hal tersebut dapat terjadi karena dari sisi regulasi tidak mengatur secara tegas terkait penjualan ulang paket internet.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan penambahan FUP oleh ISP harus melalui kajian berdasarkan pengukuran di lapangan untuk kewajaran pengguna di rumah.
Alasan penerapan FUP dengan kecepatan yang menurun jika sudah terpenuhi volume penggunaan sebenarnya tidak terlalu tepat saat ini, apalagi jika alasannya adalah ada pihak yang melakukan penjualan ulang.
“Dengan FUP penjualan ulang tetap akan terjadi, yang paling penting bagaimana pemberian sanksi penjualan ulang oleh oknum,” kata Ian.
Ian mengatakan penerapan FUP akan makin banyak, jika alasannya adalah kewajaran pemakaian. Pasalnya, akar permasalahannya tidak diselesaikan.
Sebelumnya, kebijakan FUP yang diterapkan oleh Biznet dikabarkan telah membuat data mereka diretas.
Seorang peretas yang mengaku karyawan Biznet melakukan peretasan karena karena tidak setuju dengan kebijakan terkait Fair Usage Policy (FUP). Motif ini dinilai sejumlah pengamat merupakan hal janggal.
"FUP membatasi akses internet untuk pelanggan yang menggunakan lebih dari 1TB data per bulan. Mereka tidak senang akan hal itu, dan aku menerima banyak komplain dari pelanggan," tulis sang hacker dalam suratnya.