Smartfren Cs Menjerit, Trafik dan Beban Regulator Melesat ARPU Hampir Stagnan

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 6 Maret 2024 | 15:16 WIB
Teknisi melakukan pengecekan dan perbaikan perangkat pemancar telepon selular atau Base Tranceiver Station (BTS)di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (13/12).
Teknisi melakukan pengecekan dan perbaikan perangkat pemancar telepon selular atau Base Tranceiver Station (BTS)di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (13/12).
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menjerit seiring dengan kenaikkan beban regulator yang konsisten tanpa diimbangi dengan pertumbuhan rerata pendapatan per pelanggan (ARPU). 

Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys mengatakan laju trafik data terus mengalami peningkatan, khususnya pascapandemi Covid-19. Seiring dengan peningkatan tersebut, belanja modal yang operator seluler gelontorkan juga meningkat demi menjaga layanan tetap optimal. 

Sayangnya, ongkos penggelaran jaringan yang dikeluarkan selama ini tidak diimbangi dengan pendapatan yang dibukukan, sehingga menjadi alarm bagi keberlanjutan bisnis operator seluler dan kualitas layanan yang diberikan ke masyarakat. 

“Orang makin sering menggunakan layanan internet tetapi pendapatannya tidak tumbuh atau hanya tumbuh 3%,” kata Merza dalam FGD PNPB Sektor Telekomunikasi 2024, Rabu (6/3/2024). 

Grafik pertumbuhan trafik vs pendapatan operator
Grafik pertumbuhan trafik vs pendapatan operator

Di tengah kondisi tersebut, kata Merza, industri juga dibebankan dengan ongkos regulator yang terus melesat. 

Beban biaya hak penggunaan Frekuensi yang besar dan selalu meningkat sebagai dampak dari formula NKICB dan penambahan alokasi frekuensi baru menghantaui perusahaan telekomunikasi dalam negeri.  

Sekadar informasi, Kemenkominfo rencananya bakal menambah spektrum frekuensi untuk kebutuhan seluler. Di pita 700 MHz terdapat 90 MHz yang akan dialokasikan Kemenkominfo pada tahun ini. Dengan bertambahnya frekuensi, maka biaya yang harus dibayarkan operator juga akan bertambah. 

“BHP frekuensi ini tidak pernah turun. Lebih besar proporsinya dari beban terhadap pendapatan. Kami melihat ada yang tidak seimbang. Beban tumbuh terus, pendapatan flat, dan trafik naik terus sehingga kami harus jaga,” kata Merza. 

Grafik pertumbuhan beban operator seluler
Grafik pertumbuhan beban operator seluler

Merza yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Smartfren mengatakan fenomena ini memunculkan kekhawatiran tentang masa depan industri telekomunikasi dan pertumbuhan digital Tanah Air. 

Visi Indonesia Digital (VID) 2045 yang dicanangkan pemerintah berisiko gagal terjadi jika pemain telekomunikasi terus terjerat dengan beban tinggi dan pendapatan yang stagnan. 

"Jika terus seperti ini pada [Visi Indonesia Digital] 2045 akan terjadi atau tidak?" kata Merza.

Sebelumnya, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan beban regulasi melalui PNBP harus dirasionalkan sehingga industri dapat tumbuh secara sustainable/berkelanjutan, dan dapat dipulihkan kondisi kesehatannya. 

Kajian Coleago menemukenali bahwa penyelenggara jasa akan berkelanjutan (sustainable) jika rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan tersebut maksimal 5 persen. 

“Jika rasio tersebut lebih dari 10 persen maka penyelenggaran akan berada pada kondisi yang tidak sehat/sustain. Sebagian besar penyelenggara telekomunikasi di Indonesia memiliki rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan yang cukup tinggi, lebih dari 10 persen. Bahkan ada yang rasio BHP Frekuensi terhadap pendapatannya sudah sekitar 16 persen,” kata Sigit, Jumat (1/9/2023). 

Diketahui, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tercatat sebesar Rp19,84 triliun. Biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi menjadi kontributor terbesar dengan menyumbang Rp19,65 triliun.  

Dilansir dari postel.go.id, PNBP yang disalurkan Kemenkominfo hakikatnya cenderung melandai. Pada 2020, PNBP Kemenkominfo mencapai Rp20,90 triliun, kemudian turun menjadi Rp20,43 triliun pada 2021, hingga akhirnya menjadi Rp19.84 triliun tahun lalu. Belum diketahui apa penyebab penurunan tersebut.  

Dari jumlah tersebut, 99 persen berasal dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) melalui BHP frekuensi.

Total BHP frekuensi radio pada 2022 mencapai Rp19,65 triliun, yang menandakan pengelolaan spektrum frekuensi cukup optimal dan memberi kontribusi bagi negara. 

Sigit mengatakan regulatory charges baik berupa PNBP, pajak maupun beban-beban lain yang terkait regulasi akan memperberat kinerja penyelenggara telekomunikasi dalam berinvestasi menyediakan jaringan dan kualitas layanan yang memadai bagi terlaksananya transformasi digital. 

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper