Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mendorong pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan menempatkan data masyarakat di dalam negeri atau lokalisasi data center. Sempat diatur dalam Peraturan Pemerintah no.82/2012 sebelum akhirnya direvisi menjadi PP 71/2019.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan jika hal tersebut diterapkan, kedaulatan dan penegakan regulasi akan lebih mudah untuk dilaksanakan.
“Hal ini juga berdampak positif terhadap kedaulatan dan penegakan regulasi, karena terbukti lebih mudah dan efektif, daripada ketika data di luar negeri,” ujar Sigit kepada Bisnis, Selasa (9/1/2024).
Sebelumnya, Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi sempat mengatakan penyimpanan data pribadi masyarakat harus di dalam negeri dan data akan menjadi milik pemilik data.
Budi nantinya akan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang menyatakan penyimpanan data elektronik dapat dilakukan di luar negeri.
“Itu (regulasi yang akan datang) yang membuat semua global player ini mau meletakan datanya di sana (di dalam negeri). Di kita juga gitu harusnya. Jadi tinggal kita ubah data ini milik pemilik data,” ujar Budi pada acara Bersama Digital Data Center (BDDC), Selasa (21/11/2023).
Namun, pada Desember 2023, Budi menegaskan isu terkait perusahaan asing yang diharuskan untuk melokalisasi data center tidak terjadi.
Menurutnya, ucapannya yang sebelumnya dimaksudkan untuk sentralisasi data center bagi sektor pemerintahan. Hal ini dilakukan dengan cara membangun Pusat Data Nasional yang berlokasi di Cikarang, Batam, dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Padahal, di sisi lain, pengamat Sigit mengatakan dengan adanya regulasi tersebut, perkembangan pusat data (data center) di Indonesia akan jadi lebih cepat.
Sigit memaparkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial tertinggi di dunia. Selain itu, total durasi masyarakat Indonesia mengakses internet juga cukup tinggi dibandingkan rata-rata durasi masyarakat di negara-negara lainnya.
Namun, untuk kapasitas data center di Indonesia, kata Sigit, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia masih dalam posisi yang sangat rendah.
Oleh karena itu, Sigit mengatakan saat ini banyak data masyarakat Indonesia yang diserap oleh data center di luar negeri dan banyak pula terjadi pemborosan trafik data internasional.
Sigit mengaku banyak pihak yang merindukan era rezim Peraturan Pemerintah No.82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang sebenarnya sudah mengatur terkait peletakan data masyarakat di dalam negeri.
“Cukup banyak diantara komunitas, yang merindukan era rezim pengaturan PP 82/2012, yang keberpihakannya lebih terlihat bagi pertumbuhan industri DC dalam negeri. Karena dampaknya buat penumbuhan ekosistem digital, mungkin lebih bisa diharapkan,” ujar Sigit.
Sebab, semua ini berubah pada 2019 saat PP tersebut direvisi menjadi PP No.71/2019 yang memperbolehkan data privat masyarakat diletakan di data center luar negeri.
Alhasil, saat ini sejumlah perusahaan dengan data privat yang cukup banyak seperti Tokopedia, LinkedIn, Gojek, Instagram, dan RTC masih menempatkan data di data center di luar negeri.