Efisiensi Disebut Sebagai Jalan Berat E-Commerce untuk Tetap Kompetitif

Crysania Suhartanto
Jumat, 5 Januari 2024 | 19:03 WIB
Ilustrasi transaksi e-commerce./ Dok Freepik
Ilustrasi transaksi e-commerce./ Dok Freepik
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai efisiensi menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh e-commerce agar tetap kompetitif dan bersaing dengan platform dagang el lainnya seperti Tokopedia dan Shopee

Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan keadaan pendanaan kepada startup sudah cukup seret pada 2023 dan akan berlanjut pada 2024.

Sebagai informasi, berdasarkan laporan kolaborasi dari Google, Bain & Company, serta Temasek, angka suntikan dana di Indonesia mengalami penurunan 87%. Sedangkan, Singapura turun 63%, dan Vietnam merosot 79%. Tren inipun mencapai level terendahnya dalam enam tahun terakhir.

Adapun tren penurunan paling banyak terjadi pada pendanaan seri akhir (D&E) dengan 77%, dilanjut dengan pendanaan seri tengah dengan 76%, dan pendanaan seri awal dengan 68%.

Huda mengaku tindakan efisiensi ini akan menjadi cukup berat di tengah persaingan e-commerce yang kian ketat. Namun, hal ini tetap diperlukan agar perusahaan dapat bertahan.

“Strategi ini banyak dilakukan dalam beberapa bulan terakhir. Tidak hanya oleh e-commerce menengah, ecommerce besar pun melakukan hal serupa,” ujar Huda. 

Menurut Huda, jika memang perusahaan tidak ingin melakukan efisiensi, satu-satunya jalan adalah mendapatkan pendanaan lagi, baik itu dari modal ventura ataupun melantai di bursa saham.

Namun, Huda mengatakan opsi melantai di bursa ini merupakan hal yang dapat dilakukan hanya jika e-commerce tersebut sudah siap, karena banyaknya risiko yang mengintai.

“Ya mereka harus berlomba-lomba mendapatkan pendanaan, kalau saya rasa ya. Pendanaan bagi startup digital sudah menjadi sesuatu yang penting,” ujar Huda.

Mengutip Companies Market Cap, jika mengambil contoh dari PT GoTo Gojek Tokopedia, valuasi pasar GOTO pada awal IPO adalah sekitar US$28,05 miliar. Namun, saat ini nilainya hanya US$6,06 miliar.

Hal yang sama juga terjadi di Bukalapak. Pada masa awal IPO, valuasi BUKA sebesar US$6,78 miliar dan kini hanya US$1,37 miliar. 

Adapun Huda mengatakan jika e-commerce ingin mengincar modal ventura baru, perusahaan harus mulai memperkuat cash flow, dengan pengetatan biaya marketing dan memikirkan strategi high value user.

“Usahakan biaya marketing meningkatkan pendapatan dan mengurangi kerugian. Sehingga biaya marketing yang dikeluarkan semakin bermanfaat,” ujar Huda.

Namun, memang Huda mengaku pengetatan biaya marketing ini tidak berarti perusahaan akan meraup keuntungan, karena adapula yang biaya marketing bertambah dan kerugian juga bertambah. 

Sebelumnya, perusahaan e-commerce Lazada disebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah karyawan di kantor induknya pada 3 Januari 2024. Disebut akibat agresivitas TikTok Shop di pasar Asia Tenggara dan transformasi Alibaba untuk lebih efisien. 

Selain itu, juga belum diketahui apakah hal ini berdampak pada Lazada di negara-negara lainnya. Sebagaimana diketahui, Lazada juga memiliki anak perusahaan di Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Tiongkok. 

Mengutip Strait Times, juru bicara Lazada mengatakan efisiensi karyawan ini dilakukan agar cara kerja menjadi lebih gesit dan efisien, guna memenuhi kebutuhan bisnis di masa depan.

“Transformasi ini mengharuskan kami menilai kembali kebutuhan tenaga kerja dan struktur operasional kami untuk memastikan bahwa Lazada berada pada posisi yang lebih baik dalam mempersiapkan masa depan bisnis dan sumber daya manusia kami,” ujar juru bicara tersebut, dikutip dari Strait Times, Kamis (4/1/2023).

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper