Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membentuk gugus tugas untuk menciptakan pemerataan akses telekomunikasi, melalui pemberian kebijakan insentif penerimaan bukan pajak.
Melalui Surat Keputusan Menkominfo no.52/2023 tentang Gugus Tugas Kajian Insentif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Gugus tugas nantinya akan menyiapkan rekomendasi kebijakan insentif PNBP sektor telekomunikasi.
Gugus tugas juga akan melakukan identifikasi kendala serta solusi pemertaan dan peningkatan kualitas layanan jaringan telekomunikasi nasioinal.
“[Gugus tugas] melakukan verifikasi dan analisis terhadapa usulan insentif agar dasar pemberian insentif pemerintah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tetap sasaran,” tulis dalam dokumen yang diterima Bisnis, dikutip Rabu (27/12/2023).
Selain itu, gugus tugas juga akan melakukan analisis serta merumuskan opsi dan skema insentif PNBP sektor telekomunikasi secara bertahap.
“Gugus tugas juga memberikan rekomendasi insentif PNBP kepada Menkominfo dengan mempertimbangkan optimalisasi target PNBP dan keberlangsungan program kerja Kemenkominfo,”.
Adapun susunan Gugus Tugas Kajian Insentif PNBP Sektor Telekomunikasi ini diisi oleh Kemenkominfo dan perusahaan telekomunikasi.
Gugus tugas diketuai oleh Direktur Penataan Sumber Daya, Kemenkominfo.
Sementara itu dari operator seluler, beberpaa nama yang masuk dalam susunan gugus tugas Beberapa nama yang masuk dalam Gugus Tugas ini antara lain: Marwan O. Baasir (Wakil Ketua/Sekjend ATSI), Djatmiko Djati (Sekretariat/ATSI), Anindiya F. Pradita (Ketua Kelompok Kerja Ekonomi), Ferry Suryana (Wakil Ketua Kelompok Kerja/ATSI) dan lain sebagainya.
Untuk diketahui, secara Industri, rasio regulatory charge BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor sudah sangat tinggi berkisar 11,4% dan menjadi 13,15% jika termasuk BHP Telekomunikasi dan USO. Angka tersebut lebih tinggi dari batas sehat/sustain yaitu 5 – 10%
Tidak hanya itu, di tengah beban yang tinggi operator seluler juga dihadapkan dengan disrupsi layanan OTT yang menggerus pendapatan operator sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan.
Sementara itu, berdasarkan data lainnya yang diterima Bisnis, Atsi mengusulkan solusi jangka menengah (2025) dan solusi jangka panjang (2026-2030) untuk menghadapi kondisi tersebut.
Atsi mengusulkan regulasi ulang harga pita low band (700,800 dan 900 MHz) yang memungkinkan terjadinya proses re-balancing BHP Frekuensi pada alokasi spektrum low band secara alami antar operator
Kemudian Atsi juga mengusulkan re-formulasi dan redefinisi parameter NKC pada formula NIKICB sehingga besarannya berorientasi pada kesehatan dan keberlangsungan Industri
Merasionalisasi rasio regulatory charge BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor setiap operator maksimal di bawah 10% termasuk namun tidak terbatas menerapkan BHP AF all band flat sampai masa akhir IPFR,penurunan BHP frekuensi eksisting, penerapan faktor pengurang dengan mempertimbangkan semua biaya capex dan opex yang ditanggung oleh operator dan lainnya
“Dalam Pengalokasian spektrum frekuensi baru menggunakan mekanisme evaluasi diharapkan pada penetapan BHP frekuensi nya (menggunakan harga NKICB yang sudah disesuaikan), Pemerintah mengedepankan besaran yang terjangkau, sehingga tidak menyebabkan regulatory charge tidak lebih tinggi dari 10%” tulis dalam dokumen tersebut.