RI Didorong Tiru Inggris Soal Pajak WhatsApp Cs, Potensi Pendapatan Besar

Crysania Suhartanto
Minggu, 17 Desember 2023 | 19:48 WIB
Layanan konten data multimedia alias over the top (OTT) yang berjalan melalui jaringan internet./Ilustrasi-saveonshop.com.ph
Layanan konten data multimedia alias over the top (OTT) yang berjalan melalui jaringan internet./Ilustrasi-saveonshop.com.ph
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai perlu meniru langkah Inggris hingga Prancis perihal pembebanan pajak NonPPN kepada platform over the top (OTT), seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook.

Langkah tersebut membuat Indonesia mendapat sumber pemasukan baru di tengah gemilang bisnis OTT. 

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan negara-negara yang sudah mengatur regulasi perpajakan tersebut adalah Prancis, Inggris, Uni Eropa, Australia, dan Selandia Baru.

"Istilahnya OTT Tax, seperti di Prancis dan Inggris sudah lama memberlakukan. Ini diikuti juga oleh Uni Eropa, Australia, dan Selandia Baru," ujar Heru kepada Bisnis, Minggu (17/12/2023).

Sekadar informasi, pemerintah Inggris telah menetapkan Diverted Profit Tax (DPT) atas penghindaran pajak OTT. DPT menjadi salah satu anti avoidance rules, di mana OTT berusaha menghinari pajak di negara tempat perekonomian mereka berlangsung.

Mereka tidak mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan yang didapat. 

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sudah meminta pemerintah Indonesia untuk turut menarik biaya operasional para industri telekomunikasi digital, seperti platform over the top (OTT).

Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys mengatakan kondisi industri digital sedang meningkat pesat. Hal inipun berbanding terbalik dengan industri telekomunikasi infrastruktur yang tengah berdarah-darah, tetapi dikenakan pajak yang besar. Sementara itu OTT dilonggarkan.

Sekadar informasi, pada kuartal III/2023 Meta membukukan pendapatan sebesar US$34,15 miliar atau Rp529,68 triliun. Jumlah tersebut meningkat 23% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (YoY). 

Sementara itu pendapatan Alphabet, induk Google, mencapai US$76,69 miliar atau Rp1.189 triliun pada kuartal III/2023, meningkat 11% secara tahunan. Pendapatan tersebut tidak terlepas dari bisnis berbasis pesan yang mereka jalankan di Indonesia. 

Meta memiliki Whatsapp business yang mengincar korporasi di Indonesia. Facebook pun demikian juga menarik uang dari pengguna 'eksklusif'. Sementara Google, menawarkan berbagai layanan seperti YouTube bebas iklan hingga cloud. 

Adapun dibandingkan dengan pendapatan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM), sebagai pemimpin pasar perusahaan telekomunikasi Indonesia, pendapatan yang dibukukan Meta 4x lebih besar dari pendapatan Telkom, sementara itu Google 10x lebih besar. 

Menariknya, dengan jumlah pendapatan yang besar itu, pemerintah justru gencar membidik pendapatan dari operator telekomunikasi yang saat ini dalam kondisi cukup berat. 

Tak heran, Heru pun mengaku cukup bingung pada pemerintah Indonesia. Menurutnya, sebenarnya isu ini juga telah disuarakan berkali-kali. 

Namun, Indonesia selalu menunggu Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menerapkan pajak non PPN ke plaform OTT.

Padahal, Heru mengatakan Indonesia bukanlah member OECD dan kebijakan perpajakan ini tidak ada hubungannya dengan OECD.

Lebih lanjut, Heru mengharapkan platform-platform OTT ini dapat dikenakan PPH 21 dan PPH23.

Diketahui, PPH Pasal 21 adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan. 

Sementara itu PPH Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghargaan, modal, penyerahan jasa, selain yang telah dipotong dari PPH Pasal 21. 

"Ini yang harus menjadi perhatian Kementerian Keuangan, agar tidak hanya berfokus untuk mengambil pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari operator telekomunikasi, tetapi juga OTT," ujar Heru.

Sementara di sisi lain, Head of Asia Pasific Global System for Mobile Communication Association (GSMA) Julian Gorman mengatakan pemerintah harus memastikan keberlanjutan investasi platform over the top (OTT) seperti Instagram dan Facebook, jika ingin membebankan pajak baru kepada mereka.

Julian mengungkapkan yang paling penting saat ini adalah menjaga agar investasi dapat terus masuk ke Indonesia sehingga dapat menguatkan perekonomian.

“Yang terpenting adalah menjaga keberlangsungan dari setiap pemangku kepentingan, inilah mengapa hal yang terpenting adalah menjaga investasi terus berjalan,” ujar Julian pada Bisnis di sela acara roundtable GSMA, Rabu (6/12/2023).

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper