Bisnis.com, JAKARTA - PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) meluncurkan layanan GoRide Nego, yang memungkinkan pengguna melakukan negosiasi dengan mitra pengemudi Gojek. Hadir secara bertahap di beberapa kota terlebih dahulu.
Chief Executive Officer (CEO) GOTO Patrick Walujo meyakini GoRide Nego dapat menarik pelanggan baru, yang membuat bisnis GOTO tumbuh secara berkelanjutan.
Terbosan layanan GoRide Nego memungkinkan konsumen dan pengemudi berkomunikasi secara langsung dan menyetujui tarif perjalanan satu sama lain.
"Ini merupakan contoh terbaru dari inovasi berkelanjutan kami," kata Patrick dalam earning calls GOTO, dikutip Sabtu (11/11/2023).
Sementara itu, Direktur dan Presiden unit bisnis On-Demand Services GOTO Catherine Hindra Sutjahyo menjelaskan layanan GoRide Nego sangat sejalan dengan strategi keterjangkauan GOTO, seperti pada layanan GoCar Hemat, GoFood Hemat, dan Transit.
Menurut Catherine, GoRide Nego memungkinkan pengguna dan pengemudi memiliki lebih banyak kontrol atas harga layanan mereka. Sesuai dengan namanya Nego, manajemen GOTO meyakini layanan ini akan meningkatkan daya tarik produk tersebut karena pengguna merasa memiliki lebih banyak kontrol.
"Sebagai bagian dari strategi keterjangkauan, kami percaya ini akan membantu meningkatkan basis pengguna kami juga," ucap Catherine.
Catherine menekankan meski terdapat negosiasi harga, yang memungkinkan harga layanan jatuh lebih murah dari biasanya, layanan terbaru ini tak membuat margin kontribusi GOTO merugi, Penetapan harga berkaitan antara apa yang ditawarkan oleh pengemudi, dan apa yang diterima oleh pelanggan.
Melansir laman resmi Gojek, Sabtu (11/11/2023), layanan tersebut akan tersedia secara bertahap di beberapa kota di Indonesia. Adapun layanan GoRide Nego telah tersedia di Manado dan Pontianak.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai pada dasarnya konsumen pengguna transportasi di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Karakter yang lebih mementingkan kecepatan sampai di lokasi dibandingkan tarif, lalu karakter yang suka cepat tetapi juga harus nyaman, dan karakteristik yang tidak diburu waktu dan menginginkan tarif yang lebih terjangkau.
Dia mencontohkan seperti di kota-kota besar, yang biasanya pengguna transportasi lebih memilih waktu perjalanan yang lebih cepat, karena diburu waktu untuk mencapai ke lokasi tertentu. Itu sebabnya mereka lebih memilih menggunakan GoRide dibanding GoCar.
Sementara, untuk GoRide Nego ditujukan Gojek untuk menyasar konsumen-konsumen yang ingin harga murah, meskipun membutuhkan proses menginginkan transportasi yang fleksibel dengan harga yang relatif lebih rendah.
“Biasanya karakter konsumen seperti ini berada di kota-kota kecil atau kota tier 2 dan 3,” kata Huda.
Di sisi lain, Nailul berpendapat fitur nego ini juga akan menguntungkan para mitra driver karena berpotensi meningkatkan order. Driver bisa mengambil pelanggan dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jam sibuk.
Berbeda, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura menilai akan ada retensi atau penolakan dari mitra terhadap fitur ini karena merasa dirugikan.
Aktivitas tawar menawar cenderung mengarah pada penerimaan harga yang lebih rendah. Hal ini menjadi tantangan yang harus diantisipasi Gojek.
"Gojek lahir untuk menghadirkan harga yang fix dan jelas, bukan tawar menawar seperti ojek pangkalan," ujar Tesar.
Sementara itu pada tahap awal pengenalan layanan GoRide Nego, Asosiasi Driver Online (ADO) sempat memberi beberapa usulan. Mereka berharap Gojek untuk mengkaji kembali layanan GoRide Nego agar manfaat yang diterima pengemudi dan penumpang optimal.
Ketua Umum ADO Taha Syafaril mengatakan layanan ini akan membuat mitra Gojek sedikit terbebani dan akan berdampak pada pelayanan yang kurang optimal.
Taha juga mengatakan persaingan aplikasi ride-hailing saat ini berdampak pada kesejahteraan mitra. Platform ride-hailing kerap mengubah strategi penjualan termasuk tarif untuk menarik pendatang baru.
“Mereka membuat Gojek hemat lah Grab hemat lah, yang mengubah jarak minimum dan menggunakan batas tarif terbawah dari ketentuan. Artinya dengan demikian persaingan harga jadi kacau, terus siapa yang harus menanggung perang tarif ini?” ujar Taha.
Taha mengatakan seharusnya pemerintah segera melakukan fungsinya sebagai regulator. Namun, Taha menilai pemerintah baik Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Dinas Perhubungan masih enggan mengatur tarif dan upaya layanan transportasi online.
Padahal, Taha mengaku asosiasi dari masing-masing daerah juga telah menyuarakan tentang hal ini, tetapi hasilnya tetap nihil.