Bisnis.com, JAKARTA - Operator seluler menilai rasio biaya regulator, termasuk biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, terhadap pendapatan industri telekomunikasi idealnya sebesar 5%. Jauh di bawah rasio yang ada saat ini, yang mencapai belasan persen.
Chief Business Officer PT Indosat Tbk. (ISAT) Muhammad Buldansyah mengatakan saat ini jumlah rasio biaya regulator terhadap pendapatan mencapai 12,2%. Jumlah ini terlalu tinggi dan diharapkan dapat turun hingga di bawah 10%.
“Ini sudah terlalu tinggi dan mengurangi kemampuan kami untuk memperbaiki kualitas layanan dan cakupan. Ini harus direvisi, kami meminta adanya insentif. Kami melihat idealnya 5% dari pendapatan operator,” kata Danny, Kamis (9/11/2023).
Untuk diketahui, menurut laporan GSMA, rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rerata rasio di kawasan Asia Pasifik dan global.
Rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. GSMA memperkirakan jika pemerintah tidak mengambil tindakan, pada 2030 rasio tersebut akan meningkat dari sekitar 780 basis points (bps) dari menjadi 20%, yang membuat potensi produk domestik bruto Indonesia berkurang hingga Rp200 triliun lebih.
Danny mengatakan permasalahan ini telah menjadi perhatian penting di industri dan Kemenkominfo. Keduanya telah melakukan pembicara agar biaya regulator diturunkan.
“[Penurunan biaya regulator] tidak hanya untuk 5G, untuk apapun [teknologinya]?” kata Danny.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong mengatakan pemberian insentif dilakukan untuk menunjang penetrasi jaringan 5G di Indonesia.
Saat ini ketersediaan jaringan 5G di Indonesia masih menjadi yang terendah di dunia menurut laporan Opensignal, Juni 2023. Ketersediaan 5G Indonesia hanya 0,9 persen.
“Jadi yang kami mau berikan insentif itu yang 5G. (Kabar insentif 4G) salah, 5G harusnya,” ujar Usman.
Usman mengatakan pemerintah ingin meningkatkan kecepatan internet di Indonesia, untuk meningkatkan daya saing di mata global.
Menurutnya, saat ini Indonesia berada di posisi 98 sebagai dalam hal kecepatan internet. Padahal, kecepatan internet berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut, berdasarkan studi yang dilakukan perusahaan teknologi Google, setiap pertambahan kecepatan 10 gbps dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 1%.
Oleh karena itu, Usman juga mengatakan frekuensi 700 Mhz yang akan dilelang di akhir 2023 ataupun awal 2024 akan digunakan untuk mendukung penyelenggaraan jaringan 5G di Indonesia.
Usman mengaku saat ini operator seluler masih ragu-ragu dalam mengadopsi jaringan 5G karena para pelanggan merasa cukup dengan keberadaan jaringan 4G. Aktivitas digital yang ada saat ini dapat diakomodir dengan jaringan 4G.
“Perusahaan-perusahaan telekomunikasi itu masih memperhitungkan pasar, jadi mereka menganggap kebutuhan 5G itu masih belum tinggi, sehingga mereka kelihatannya mempertimbangkan untuk mengadakan 5G,” ujar Usman.
Padahal, Usman mengaku Indonesia butuh internet yang lebih cepat. Menurut Usman, kecepatan internet Indonesia masih berada di nomor 90 dari 160 negara di dunia.
Selain itu, di negara-negara lain sudah banyak yang mengadopsi 5G, bahkan beberapa di antaranya sudah mau masuk ke 6G.
“Harus 5G mestinya. Karena kalau 4G kan sudah disiapkan oleh base transceiver station (BTS) itu ya yang frekuensinya sudah ada. Kita harus naik kelas lah untuk 5G,” ujar Usman.