Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai hak cipta untuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) merupakan hal yang sah-sah saja.
Ilmuwan teknologi Khoirul Anwar mengatakan penciptaan hasil karya AI masih memerlukan ilmu, walaupun memang ditingkatkan kualitasnya dengan mesin.
Namun, Khoirul mengatakan perlu ada batasan berupa persentase karya yang merupakan hasil kreasi manusia.
“Hanya saja, mungkin harus tetap ada threshold atau batas ambang bahwa hasil kreasi manusianya harus ada di atas 51%, misalnya,” ujar Khoirul kepada Bisnis, Senin (6/11/2023).
Kendati demikian, batas ambang ini harus didiskusikan lebih lanjut antar lembaga pemerintah, agar menemukan takaran yang sesuai.
Khoirul mengaku saat ini perkembangan teknologi kecerdasan buatan menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu. Namun, Khoirul mengaku hal ini merupakan suatu hal yang wajar.
Adapun Khoirul melihat perkembangan teknologi yang cepat ini dikarenakan keuntungan yang ada dari dua sisi, baik user maupun developer.
Dari segi pengguna, kecerdasan buatan ini memiliki manfaat yang langsung dirasakan masyarakat. Alhasil dengan menggunakan kecerdasan buatan, ada kebanggaan tersendiri yang dirasakan pengguna pada AI generatif.
Kemudian dari sisi pengembang, algoritma kecerdasan buatan yang terus dikembangkan selama ini membuat database yang menjadi basis AI dalam bertindak pun menjadi semakin banyak. Alhasil, pengembangan teknologi pun menjadi semakin mudah.
Sebagai informasi, sebelumnya Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan hak cipta terkait kecerdasan buatan sudah diatur dalam Undang-undang Hak Cipta.
Usman pun mencontohkan gugatan yang dilayangkan pemilik data kepada perusahaan teknologi Google karena menerjemahkan data tanpa izin.
“Semua (Undang-Undang) itu kan buat semua, termasuk kecerdasan buatan berlaku di situ. Jadi misalnya ChatGPT itu bisa untuk diperkarakan UU Hak Cipta,” ujar Usman kepada Bisnis, Senin (6/11/2023).