Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai pemerintah perlu meninjau ulang formula biaya yang dibebankan pada operator seluler, terutama formula biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito W.J. mengatakan BHP frekuensi merupakan beban biaya terberat operator yang harus dibayarkan pada pemerintah.
“Beban regulasi kepada operator seluler sudah terlampau tinggi, di tengah kondisi industri yang sedang kurang sehat. Sedangkan, porsi yang paling dominan dalam beban biaya regulasi tersebut adalah BHP Frekuensi,” ujar Sigit, Kamis (26/10/2023).
Adapun, Sigit menilai formulasi perhitungan BHP frekuensi yang digunakan saat ini, yakni NKICB terbukti tidak sensitif terhadap perubahan kondisi industri.
Sebagai informasi, formulasi NKICB terdiri atas perbandingan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK), jenis layanan dan manfaat dari masing-masing pita frekuensi, indeks harga dasar pita frekuensi radio, jumlah penduduk per setiap pita spektrum, dan lebarnya pita frekuensi radio.
Menurut Sigit, ada beberapa parameter yang harus ditinjau ulang. Pasalnya, cukup ganjil ketika industri sedang berdarah-darah, tetapi target BHP terus meningkat.
Sigit beranggapan jika perhitungan frekuensi masih seperti sekarang ini, pemerintah akan menyalahi tujuan utama adanya BHP frekuensi.
“Tujuan management frekuensi yang sumber daya terbatas kan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk ditarik pajaknya atau retribusinya dalam rupiah,” ujar Sigit.
Sigit mengaku perombakan formulasi BHP memang tidak gampang dan instan. Namun, di sisi lain, industri telekomunikasi yang sedang kritis ini tidak bisa menunggu terlalu lama.
Oleh karena itu, Sigit mengusulkan agar pemerintah mulai melakukan langkah-langkah insentif penyelamatan. Mulai dengan insentif terkait metode lelang, biaya frekuensi, ataupun metode pembayaran.
“Misalnya kalau metode pembayarannya di depan, mungkin bisa sangat membebani, jadi bisa dibuat metode penjadualan yang lebih ringan,” ujar Sigit.
Lebih lanjut, Sigit mengatakan insentif yang diberikan juga tidak melulu terkait biaya.
Namun, juga insentif saat operator seluler melakukan frekuensi bersama (spektrum sharing) ataupun pelaksanaan lelang yang disertakan komitmen untuk menggelar 5G.
“Sehingga dipastikan frekuensi tersebut memang dialokasikan hanya kepada yang ingin menggelar 5G,” ujar Sigit.