Bisnis.com, JAKARTA — PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk. (EXCL) menyarankan kepada pemerintah untuk menggeser pemasukan negara dari operator telekomunikasi ke perusahaan teknologi yang berjalan di atas jaringan telekomunikasi atau over the top (OTT).
Potensi pendapatan yang dapat diraup pemerintah dari sektor tersebut jauh lebih besar dibandingkan industri telekomunikasi.
Director & Chief Enterprises and Strategic Relationship XLSMART Andrijanto Muljono menyoroti ketimpangan ekosistem telekomunikasi di Indonesia.
Menurutnya, selama ini beban biaya terbesar justru ditanggung operator telekomunikasi, sementara perusahaan over-the-top (OTT) seperti Facebook, WhatsApp, TikTok dan e-commerce menikmati keuntungan besar tanpa membayar biaya spektrum atau sewa tahunan.
“Facebook itu ARPU-nya US$6 dolar per user, kami cuma US$2,4 dolar. Mereka tidak bayar spektrum, tidak bayar sewa tahunan, tapi bisa menikmati bisnis di Indonesia dengan revenue besar.
Perlu shifting regulasi agar pendapatan negara tidak berkurang, tapi beban operator juga tidak berat,” Andrijanto kepada Bisnis, Jumat (16/5/2025)
Merujuk pada laporan keuangan Meta Inc, induk Facebook dan Instagram, pendapatan perusahaan pada 2024 mencapai US$48,39 miliar atau sekitar Rp788,52 triliun pada kuartal IV/2024, naik 21% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun jika diukur secara tahunan Meta mencatatkan pertumbuhan 22% mencapai US$164,50 juta atau sekitar Rp2.680 triliun dibandingkan 2023.
Sementara itu Xinhua melaporkan TikTok menghasilkan pendapatan IAP kotor sebesar US$1,9 miliar pada kuartal IV/2024.
Laporan Google mengungkap pendapatan e-commerce di Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai US$90 miliar, menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara.
Laporan e-Conomy SEA 2024 menyebutkan pertumbuhan ini naik 13% dibandingkan tahun 2023. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia juga mencapai Rp487 triliun pada tahun 2024.
Selain OTT, Andrijanto juga menyoroti perusahaan tower yang hanya menyediakan menara fisik, namun biaya sewa dan operasional yang dibayarkan operator sangat besar.
“Harus ada keseimbangan regulasi, tidak hanya operator yang dibebani,” tambahnya.
Terkait upaya efisiensi biaya jaringan, Andrijanto menjelaskan bahwa biaya terbesar berasal dari spektrum dan tower. XLSMART sendiri terus berupaya mendesain ulang jaringan dan mengintegrasikan peralatan pasca-merger agar lebih hemat energi dan biaya operasional. Namun, untuk mencapai efisiensi optimal, diperlukan investasi awal yang hasilnya baru terasa dalam jangka panjang.
“Setelah merger, kita punya lima spektrum, otomatis equipment-nya banyak. Kita harus efisienkan jadi satu equipment supaya listriknya irit, operasional turun. Tapi investasi dulu, baru hasil efisiensinya terasa bertahun-tahun,” jelasnya.
Andrijanto menegaskan, jika biaya spektrum dipangkas, operator akan punya ruang finansial untuk memperluas jaringan. XLSMART berpeluang menjangkau 100 kota baru. Besar ekspansi diukur berdasarkan insentif yang diberikan.
“Saat ini kita hanya di 400 kota. Kalau ada penghematan biaya spektrum, kita bisa memperluas jadi 500 kota. Jadi bisa melayani lebih luas dan lebih berkualitas,” katanya.
Seperti diberitakan Bisnis.com pada 5 Maret 2025, insentif pengurangan BHP frekuensi yang dijanjikan pemerintah sejak dua tahun lalu masih belum terealisasi. Akibatnya, pelaku industri telekomunikasi menjerit karena beban biaya yang tinggi, sementara kebutuhan investasi untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas layanan terus meningkat.
Andrijanto berharap pemerintah segera menerapkan regulasi yang lebih berkeadilan, termasuk pengenaan kewajiban pada OTT dan penyesuaian biaya spektrum bagi operator. Dengan demikian, operator dapat lebih efisien, memperluas jaringan, dan tetap memberikan kontribusi optimal bagi pendapatan negara.
“Regulasi harus adil untuk semua pelaku industri, bukan hanya operator. Jika efisiensi tercapai, operator bisa memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat,” pungkas Adrijanto.