Industri Telekomunikasi Terbebani
Sebelumnya, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan beban regulasi melalui PNBP harus dirasionalkan sehingga industri dapat tumbuh secara sustainable/berkelanjutan, dan dapat dipulihkan kondisi kesehatannya.
Kajian Coleago menemukenali bahwa penyelenggara jasa akan berkelanjutan (sustainable) jika rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan tersebut maksimal 5 persen.
“Jika rasio tersebut lebih dari 10 persen maka penyelenggaran akan berada pada kondisi yang tidak sehat/sustain. Sebagian besar penyelenggara telekomunikasi di Indonesia memiliki rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan yang cukup tinggi, lebih dari 10 persen. Bahkan ada yang rasio BHP Frekuensi terhadap pendapatannya sudah sekitar 16 persen,” kata Sigit.
Diketahui, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tercatat sebesar Rp19,84 triliun. Biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi menjadi kontributor terbesar dengan menyumbang Rp19,65 triliun.
Dilansir dari postel.go.id, PNBP yang disalurkan Kemenkominfo hakikatnya cenderung melandai. Pada 2020, PNBP Kemenkominfo mencapai Rp20,90 triliun, kemudian turun menjadi Rp20,43 triliun pada 2021, hingga akhirnya menjadi Rp19.84 triliun tahun lalu. Belum diketahui apa penyebab penurunan tersebut.
Dari jumlah tersebut, 99 persen berasal dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) melalui BHP frekuensi.
Total BHP frekuensi radio pada 2022 mencapai Rp19,65 triliun, yang menandakan pengelolaan spektrum frekuensi cukup optimal dan memberi kontribusi bagi negara.
Sigit mengatakan regulatory charges baik berupa PNBP, pajak maupun beban-beban lain yang terkait regulasi akan memperberat kinerja penyelenggara telekomunikasi dalam berinvestasi menyediakan jaringan dan kualitas layanan yang memadai bagi terlaksananya transformasi digital.
Pemerintah hendaknya tidak membiarkan penyelenggara telekomunikasi menjadi tidak berdaya karena berkurangnya pelaku usaha di sektor telekomunikasi akan mengancam persaingan usaha yang sehat yang pada ujungnya mengancam kemampuan masyarakan memanfaatkan layanan.
Selain itu, lanjutnya, lemahnya penyelenggara telekomunikasi akan berpotensi mengancam ketahanan nasional.
“Mengingat terdapat simbiosis mutualisme antara penyelenggara telekomunikasi dan pemerintah maka sudah selayaknya dilakukan peninjauan ulang atas regulatory charges yang membebani penyelenggaraan telekomunikasi guna mendukung kepentingan nasional yang telah ditetapkan,” kata Sigit.
Senada, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan harus ada perhitungan ulang dan koreksi terhadap biaya spektrum frekuensi atau BHP Frekuensi, mengingat kondisi industri telekomunikasi yang sudah berbeda.
Heru mengatakan perhitungan ulang memang akan berdampak kepada pendapatan negara langsung yang berkurang, tetapi ini akan menggerakan ekonomi masyarakat dengan tarif terjangkau, operator terus hidup dan membangun jaringan, lapangan kerja tetap terjaga, manfaat ekonomi secara makro bisa lebih besar
“Jangan semua dimonetisasi dengan harga tinggi, sementara industri sudah berbeda dibanding masa keemasan 10-15 tahun lalu,” kata Heru.
Berbeda, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward berpendapat bahwa nilai BHP yang ada saat ini sudah pas dan tidak perlu diubah.
Namun, perubahan dimungkinkan untuk teknologi baru sebagai insentif sehingga dapat makin terakselerasi.
“BHP yang sudah ada tidak perlu diubah. Hanya untuk teknologi baru yang memerlukan bandwidth yang lebar pada frekuensi tinggi harus ada penyesuaian. BHP merupakan variabel lebar bandwidth dan daya jangkau, serta aspek manfaat bagi masyarakat,” kata Ian.
Ian mengatakan dengan penurunan BHP untuk teknologi baru, pendapat negara tetap akan bertambah, karena BHP yang dikurangi hanya untuk frekuensi baru. Tetapi biaya akhir yang jatuh di masyarakat akan menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura menilai penurunan BHP frekuensi merupakan hal yang wajar, selama diimbangi dengan biaya layanan telekomunikasi yang juga terjangkau ke masyarakat.
“Sudah operator telekomunikasi untung besar, harga internet mahal, terus minta BHP frekuensi turun. Itu kelewatan. Operator seluler minta turun supaya biaya operasional mereka rendah, marginnya besar. Jangan dimahalkan, kalau dapat jadi yang paling terjangkau di Asia,” kata Tesar.
Tesar mengatakan dengan cara tersebut pendapatan pemerintah mungkin akan lebih turun, tetapi masyarakat mendapatkan tarif yang terjangkau sehingga mereka makin mudah dalam mengakses internet.