Bisnis.com, JAKARTA - Para pelaku usaha berharap pemimpin baru Indonesia menjadikan isu keamanan siber sebagai prioritas untuk ditangani. Keamanan siber di Tanah Air dinilai masih sangat lemah dan dikhawatrikan mengganggu pertumbuhan ekonomi digital.
Dalam survei yang bertajuk Harapan Dunia Usaha terhadap Pemerintah Mendatang disebutkan bahwa mayoritas pelaku usaha (25,8 persen) menjadi isu keamanan siber sebagai priortasi yang harus diselesaikan oleh pemerintah mendatang.
Perhatian mereka terhadap isu keamanan siber lebih tinggi dibandingkan dengan isu pemerataan jaringan (20,37 persen), literasi dan perilaku konsumen (19,63 persen), regulasi terkait ekonomi digital (19,14 persen) dan pengembangan ekosistem startup.
“Keamanan cyber masih sangat lemah,” tulis dalam laporan Data Indonesia, dikutip Rabu (9/8/2023).
Tidak hanya itu, mayoritas responden (47 persen) juga beranggapan bahwa pemerintah kurang serius dalam melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan siber.
Merujuk pada laporan National Cyber Security Index (NCSI), tingkat keamanan siber Indonesia berada di peringkat 84 dengan poin 38,96.
Laporan NCSI tersebut menunjukkan bahwa tingkat keamanan siber di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain. Dibandingkan negara-negara anggota G20, tingkat keamanan siber Indonesia berada di posisi tiga terbawah.
Pengamat IT dari UPN Yogyakarta Awang Hendrianto menilai maraknya aksi peretasan, salah satunya dipicu oleh belum maksimalnya penerapan hukum khususnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia.
“Penerapan hukum siber di Indonesia, masih sangat lemah. Misalnu, pembobolan e-banking, jika digital forensik dilakukan lebih detil oleh polisi siber, bisa segera dicari pelakunya, dan dapat langsung ditangkap,” kata Awang dikutip, Rabu (19/8/2023).
Awang juga berpendapat polisi siber di Indonesia belum optimal dalam melakukan identifikasi, dan pencarian para pelaku. Akibatnya, tindakan penegakan hukum yang terjadi lebih banyak menangkap pelaku amatiran dan anak buah dari sindikat peretas data.
Sementara, pihak yang menjadi otak pelaku pencurian data belum tersentuh hukum. Padahal, ditinjau dari keilmuan siber, semua tindak kejahatan siber sebenarnya bisa diberantas.
Munculnya permasalahan hukum siber di Indonesia, juga dipicu oleh banyaknya celah pada regulasi yang harus segera dibenahi oleh pemangku kepentingan. Dia melihat, aturan sanksi hukum pada pasal 30 UU ITE, belum diterapkan secara tegas.
Awang menyarankan harus segera melakukan langkah taktis dan strategis, untuk meminimalisir ruang gerak peretas di Indonesia. Pertama, dengan melakukan edukasi literasi digital ke pelaku usaha, instansi pemerintah, dan masyarakat luas.
Harapannya, dengan pemahaman meningkat, membuat masyarakat bisa meningkatkan kewaspadaan dan terhindar dari ancaman kejahatan siber. Seperti; tidak membuka email yang terkontaminasi virus, tidak menginstall aplikasi yang tidak jelas, tidak membuka aplikasi yang dikirim pihak lain di sosial media, dan sebagainya.
Selain itu, bagi pelaku usaha dan instansi pemerintah, agar senantiasa meningkatkan keamanan sistem teknologi informasinya, dengan mengalokasikan anggaran untuk penggunaan sistem yang mumpuni, termasuk hingga pemeliharaan keamanan sistemnya.
“Membeli aplikasi keamanan TI tidak dapat beli putus. Keamanan TI harus dilihat jangka panjang, termasuk memikirkan anggaran untuk pemeliharaan. Hal itu seringkali luput dari pemikiran instansi pemerintah dan pelaku usaha,” ujarnya.