Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) Hendra Suryakusuma menyatakan potensi data center di Indonesia masih banyak yang terkubur. Hal ini terlihat dari data center Tiktok Indonesia yang masih berada di luar negeri.
“Kita (Indonesia) pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, ada 111 juta pengguna, tetapi data centernya mereka simpan di Johor Bahru, Malaysia,” ujar Hendra, Senin (24/7/2023).
IDPRO pun mendorong agar perusahaan-perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia meletakan data mereka di Tanah Air. IDPRO, kata Hendra, terus berusaha untuk menjadi mitra strategis pemerintah untuk mengembalikan kedaulatan data Indonesia.
Sebagai informasi, pada 2012 lalu, pemerintah pernah membuat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Adapun salah satu pasalnya berbunyi, Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Namun, pasal tersebut direlaksasi dengan PP nomor 71 tahun 2019, yang mana tertulis bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik hanya terbagi atas data privat dan data publik.
“PP nomor 82 pasal 17 ayat 26 menyatakan semua perusahaan yang menyediakan layanan publik di tanah air ini harus memiliki data center dan disaster recovery center di Indonesia. Tetapi direlaksasi, dimana pemerintah membagi data hanyalah dua, data privat dan data publik,” ujar Hendra.
Alhasil, sejumlah sosial media ataupun penyedia layanan secara daring yang terkategorikan memiliki data privat, tidak harus memiliki data center di Tanah Air.
Hal itupun kemudian dinilai merugikan para produsen industri data center di dalam negeri.
Maka dari itu, Hendra pun meminta agar pemerintah dapat mengembalikan lagi PP nomor 82 tahun 2012 untuk menggantikan PP nomor 71 tahun 2019.
“Tapi tetap dari IDPRO sangat mendukung kedaulatan data, sehingga kami ingin mengembalikan lagi PP nomor 82 untuk menggantikan PP nomor 71 yang sangat tidak mendukung tumbuh kembangnya industri digital,” ujar Hendra.