Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa asteroid besar menghantam Bumi lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang didanai langsung oleh NASA sebelum akhirnya dipresentasikan dalam Konferensi Ilmu Pengetahuan Bulan dan Planet minggu lalu.
Ternyata tidak semua orang menyetujui hasil penelitian tersebut. Di sisi lain, jurnal Science mengatakan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian lapangan untuk mengonfirmasi data tersebut.
Penelitian tersebut dipimpin oleh James Garvin, kepala ilmuwan Goddard Space Flight Center NASA di Maryland dan menggunakan data beresolusi tinggi dari beberapa satelit pengamat Bumi untuk memeriksa tiga kawah tabrakan.
Cincin besar yang terlihat dalam data menunjukkan bahwa kawah-kawah tersebut lebih lebar puluhan mil dari yang telah diukur sebelumnya. Penyesuaian ukuran tersebut menunjukkan bahwa tabrakan yang terjadi jauh lebih dahsyat dari yang tercatat sebelumnya.
Hal yang sulit dihadapi ketika menghitung tingkat tabrakan asteroid karena banyaknya batu angkasa yang masuk terbakar di atmosfer Bumi dan angin serta air mengikis bekas-bekas yang ditinggalkan asteroid yang berhasil sampai ke bumi. Tak hanya itu, menghitung seberapa sering bulan atau Mars dihantam juga sama sulitnya karena kecepatannya beragam dari waktu ke waktu.
Selain itu, menilai asteroid yang berpotensi mengancam juga ada tantangannya, meskipun para ilmuwan dapat mengatakan dengan pasti bahwa tidak ada asteroid besar yang menjadi ancaman bagi Bumi di masa mendatang.
Dalam jurnal Science juga diperkirakan bahwa sebuah batu angkasa selebar 0,62 mil (1 km) menghantam Bumi setiap 600.000 atau 700.000 tahun sekali. Hal tersebut meningkat secara signifikan dengan menunjukkan bahwa ada empat objek sebesar itu yang menghantam Bumi dalam satu juta tahun terakhir.
Selain itu, Science menemukan bahwa para peneliti tersebut mendesak untuk melakukan pemeriksaan yang lebih kritis terhadap hasil penelitiannya sebelum merevisi semua perkiraan terkait pertemuan dengan batu luar angkasa.
Anna Łosiak, peneliti kawah di Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia mengatakan bahwa cincin yang diidentifikasi dalam penelitian baru tersebut belum tentu fitur kawah. Namun, jika benar begitu, dia mengatakan bahwa implikasinya mengkhawatirkan dikarenakan ada banyak batu angkasa yang mungkin datang dan menimbulkan kekacauan.
Di sisi lain, pemimpin tim sains pada bulan yang akan datang, yakini ilmuwan planet Kanada Gordon Osinski, seorang profesor Western University mengatakan bahwa dia tidak dapat menyimpulkan adanya "pelek" pada data penelitian tersebut. Hal tersebut dikarenakan fitur-fitur tersebut sangat halus sehingga dia tidak berpikir bahwa fitur tersebut adalah “pelek struktural besar.”
Penelitian yang dilakukan oleh tim Garvin dibagi menjadi dua aset ruang angkasa yang menggunakan altimetri lidar (satelit ICESat-2 dan Investigasi Dinamika Ekosistem Global yang bertengger di Stasiun Luar Angkasa Internasional) dan pencitraan stereo komersial yang tersedia dari perusahaan swasta, Planet dan Maxar.
Para peneliti mengatakan bahwa adanya peningkatan besar atas topografi yang ada karena dengan kebaruan data dengan adanya resolusi yang lebih tinggi yaitu 13 kaki (4 meter) atau kurang. Hasil tersebut digunakan untuk perhitungan dampak, seperti NASADEM dan TanDEM-X SAR dari Jerman yang masing-masing menawarkan resolusi 100 kaki (30 m) dan 40 kaki (12 m).
Garvin mengatakan pada Bill Bottke, seorang ahli dinamika planet di Southwest Research Institute di Boulder, Colorado bahwa tanpa adanya penelitian lapangan mereka belum dapat membuktikan apapun. Sementara itu, Bottke mengatakan bahwa dirinya skeptis sehingga dia ingin melihat lebih banyak lagi sebelum benar-benar mempercayainya.