Bisnis.com, ENDE — Air mata mama Maria mulai berlinang di wajah. Dengan sedu sedan dan hampir kelu, asa akan pertolongan kepada pemerintah terucap dari mulutnya.
“Kami sekarang susah untuk mendapatkan uang. Sudah tidak ada modal lagi. Hanya ini harapan mama dari pemerintah. Tolong bantu kami,” kata mama Maria, pengrajin sarung adat Ende-Lio di Desa Mbulilo’o, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (2/11/2022).
Harapan itu terucap lantaran sejak pandemi Covid-19 melanda, sarung dan selendang hasil tenunan tangan yang tak lagi muda itu sulit terjual. Bahkan, baru dalam satu atau dua bulan terakhir ada pembeli yang datang ke rumah mama Maria.
Itu pun mereka hanya membeli selendang kecil yang harganya Rp100.000. Sementara, sarung khas bermotif Lawo Gambah masih sulit terjaja.
“Kami susah sekali waktu itu [sejak pandemi Covid-19]. Uang juga tidak dapat, mau pergi jual di pasar juga tidak bisa. Jadi kami hanya bisa tenun tiap hari, tetapi sama saja. Tidak ada yang beli,” ungkapnya.
Di tengah kondisi itu, mama Maria beserta keluarga memenuhi kebutuhan pokok hanya dari hasil kebun yang tak seberapa. Ubi dan pisang menjadi makanan utama. Sesekali mama Maria dan keluarga makan nasi dengan sedikit ikan sebagai pelengkap.
“Mau pinjam uang juga tidak bisa. Semua sama-sama susah karena Covid-19,” kepada tim Jelajah Sinyal 2022.
Menanti Pembeli
Mama Maria mulai berlatih tenun ikat sejak kelas tiga sekolah dasar atau saat usianya menginjak sebelas tahun. Keterampilan itu diwariskan dari ibunya dan tetangga sekitar.
Turun temurun, perajin tenun ikat menjadi profesi utama masyarakat di lingkungan itu. Tak ada keterampilan lain yang dimiliki, kecuali bercocok tanam.
Saat ini, Mama Maria tergabung dalam Kelompok Tenun Ikat Embu Weluhajapa’a. Di rumah, dia dibantu oleh sang suami yang bertugas menggulung benang tenun.
Mama Maria (kanan) beserta suami menyelesaikan pembuatan kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Selain itu, menantunya, istri dari anak pertama, turut menenun ikat. Kepada wanita muda ini sedang diwariskan keterampilan Mama Maria.
“Mama punya anak empat orang. Yang pertama tinggal dengan mama, sedangkan anak kedua polisi tetapi meninggal di kupang. Anak ketiga tinggal di luar kota dan yang bungsu tinggal dengan mama besarnya [kakak mama Maria]. Anak mama tidak tahu menenun. Hanya bisa bantu mama menggulung benang, bolak-balik benang.”
Wanita berusia 63 tahun ini sangat terampil menenun ikat untuk segala jenis motif. Semua motif yang terlintas di pikiran bisa dibuatnya. Namun, ibu dari dua orang anak ini mengaku sangat ahli untuk membuat sarung tenun bermotif Lawo Gambah.
“Bahasa Lio Lawo Gambah. Motif bergambar Burung Garuda, kalung emas yang biasa dikenakan kaum wanita, dan gambar Ayam yang menyimbolkan Bhineka Tunggal Ika,” jelasnya.
Berbeda dengan selendang kecil atau syal, sarung tenun ikat khas Ende Lio yang dikerjakan Kelompok Tenun Ikat Embu Weluhajapa’a biasanya dipasarkan dengan kisaran harga Rp1,5 juta-Rp2,5 juta.
Mama Maria (kanan) mempraktikkan pembuatan kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Menurutnya, harga sarung adat ini mahal lantaran bentuknya panjang dan pengerjaannya sulit. Motif rumit bahkan memerlukan waktu yang tak sedikit untuk dirampungkan.
Sarung bermotif sederhana bisa dihasilkan dalam tiga bulan. Namun, pembuatan sarung bermotif Lawo Gambah bisa memakan waktu hingga satu tahun.
"Hanya kami yang sudah tua yang dapat mengerjakan motif yang sulit. Kalau anak anak muda sekarang tidak bisa, hanya bisa mengerjakan motif biasa.”
Sarung Ende Lio hasil tenunan mama Maria hanya dijual di rumah. Wisatawan asing dan dalam negeri yang kebetulan lewat menjadi pembeli utama hasil karyanya.
Penjualan dengan memanfaatkan gawai tak menjadi pilihan utama, kecuali menerima pesanan dari kerabat yang disampaikan via telepon oleh anak ketiga dan keempatnya. Penjualan dalam jaringan atau online masih jauh dari pemahamannya.
Suami mama Maria menyelesaikan gulungan benang yang menjadi bahan kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
“Bukan mama tidak mau. Mama tidak tahu online. Mama pegang HP, hanya jika ada anak yang menelepon. Itu saja yang mama tau,” kata Mama Maria.
Padahal, Desa Mbulilo’o yang merupakan salah satu area penyangga Danau Kelimutu bukan area yang tak terjangkau layanan internet. Hasil pengukuran kecepatan atau speedtest internet dengan aplikasi Ookla yang dilakukan tim Jelajah Sinyal 2022 Bisnis Indonesia di rumah mama Maria menjadi buktinya.
Hasil tes itu menunjukkan layanan internet untuk operator seluler Telkomsel di lokasi tersebut memiliki kecepatan 21,1 Mbps untuk mengunduh (download) dan 5,60 Mbps untuk mengunggah (upload).
Dengan dukungan layanan internet yang tersedia itu, mama Maria mengaku sangat ingin diajarkan untuk menjajakan sarung tenun dan selendang secara daring.
“Kalau mereka mau mengajar, mama mau. Tapi mama tidak tau [gunakan] HP ini. Bagaimana? Mama mau tau dari mana?”
Cerita dari Sisi Lain Kelimutu
Rendahnya literasi digital, khususnya pada segmen orang tua, sebenarnya juga menjadi tantangan yang dihadapi oleh Ferdinandus Watu saat mulai menjabat sebagai Kepala Desa Detusoko Barat pada 2020.
Namun, Nando berperan menggerakkan kaum muda yang lebih melek internet untuk memanfaatkan layanan digital untuk mengoptimalkan pemasaran produk pangan hasil desa dan ekopariwisata.
“Yang menggunakan android banyak dari generasi milenial. Makanya mau tidak mau secara struktural di dalam sistem kita, meski banyak orang tua, tapi kegiatan harian justru anak muda,” jelasnya saat ditemui Tim Jelajah Sinyal, Bisnis Indonesia, yang berkesempatan menyambangi Kantor Desa Detusoko Barat, Selasa (1/11/2022).
Kepala Desa Detusoko Barat Ferdinandus Watu memberikan pemaparan saat wawancara dengan Bisnis Indonesia di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Selasa (1/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati.
Kaum muda menjadi ujung tombak dalam program yang diusungnya. Generasi muda yang melek teknologi membantu orang tua dalam mengemas paket sayuran dan pengirimannya.
“Dari sisi marketing juga [anak muda yang diandalkan]. Jadi, kami berkolaborasi dengan anak-anak yang sudah SMA, bahkan sudah kuliah dan tinggal di sini untuk mendukung BUMDes kita,” kata pria yang akrab disapa Nando ini.
Anak muda membantu perwujudan visi Nando, yakni menjadikan Detusoko Barat sebagai desa yang berkarakter lokal, berdaya saing, berbasis pertanian terpadu dan ekowisata dengan mengedepankan teknologi informasi.
Apalagi, internet di Desa Detusoko Barat sudah mendapatkan layanan dari Telkomsel, meski masih ada sejumlah titik tanpa sinyal internet atau blankspot.
Alhasil, Desa Detusoko Barat berhasil masuk dalam daftar 50 besar desa wisata terbaik di ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 lantaran dianggap berhasil mengembangkan potensi pertanian dan pariwisata berbasis alam dengan mengoptimalkan teknologi informasi.
Di bawah pimpinan Nando, Desa Detusoko mengembangkan BUMDes Au Wula dengan dua unit usaha yakni perdagangan dan pariwisata. Keduanya kini telah memiliki platform digital.
Mama Maria (kiri) beserta suami menjemur kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Unit usaha perdagangan pada awalnya menggunakan lapak dari dapurkita.bumdesmart.id. untuk memasarkan produk petani Desa Detusoko Barat saat pandemi Covid-19 melanda.
“Petani tidak tau harus menjual hasil perkebunan dan pertaniannya ke mana.”
Pada awal 2021, pasar yang dilayani BUMDes Au Wula semakin berkembang. Dapur Kita, unit usaha perdagangan BUMDes Au Wula, tak lagi hanya melayani pasokan pangan ke Kota Ende melainkan juga mulai menjangkau kabupaten tetangga, yakni Sikka dan Nagekeo, bahkan ke kabupaten lainnya.
Alhasil, unit Dapur Kita bertransformasi dengan platform mandiri menjadi pasarflores.id. “Ini untuk platform digital unit perdagangan.”
Dengan platform pasarflores.id, BUMDes Au Wula kini tidak hanya memasarkan produk pangan dari wilayah Kecamatan Detusoko saja melainkan juga membantu sektor pertanian di berbagai Kabupaten lain.
“Sehingga sayurnya tidak harus dari Detusoko. Misalnya, bagaimana teman-teman di Maumere bisa menjual sayurnya juga bahkan sampai Sabu Raijua. Jadi kami memperluas,” ungkapnya.
Secara total, kata Nando, pasarflores.id telah berkolaborasi dengan 60 petani dengan pelanggan yang sudah mencapai 500-an orang.
Sementara di sektor pariwisata, BUMDes Au Wula memiliki decotour.bumdeswisata.id. Platform ini menyediakan sejumlah paket ekowisata kepada para pelancong dari dalam dan luar negeri.
Alhasil, Nando dengan dukungan generasi muda bisa membantu para orang tua dan seluruh Desa Detusoko Barat dalam mengembangkan potensi terbaik yang ada di wilayah tersebut.
Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh mama Maria di Mbulilo’o, di sisi lain pegunungan Kelimutu.
Literasi Digital Urgen
Bupati Ende Djafar H. Achmad mengaku pihaknya terus menerus menekankan kepada seluruh perangkat pemerintahan daerah untuk mensosialisasikan potensi pemanfaatan teknologi hingga ke desa-desa.
Dia mengatakan program literasi digital di wilayahnya terus dilakukan termasuk dengan dukungan dari pemangku kepentingan pusat nasional, seperti Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informasi dan BUMN.
Sosialisasi itu, jelasnya, dilakukan terutama kepada para siswa di sekolah menengah. Selain itu, literasi digital diberikan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Literasi digital harus kuat. Kalau dibiarkan, [dampak] negatif lebih banyak,” jelasnya kepada Tim Jelajah Sinyal, Bisnis Indonesia, yang berkesempatan untuk bersilaturahmi di kantor pemerintahan Kabupaten Ende, Senin (31/10/2022).
Mama Maria membuat kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot menilai literasi digital menjadi aspek penting untuk mengoptimalkan layanan internet di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Dia mencontohkan, setelah infrastruktur telekomunikasi tersedia bagi masyarakat di desa, khususnya di daerah 3T, program literasi digital harus dipacu. Dengan begitu, jelas dia, layanan internet yang cukup terbatas di daerah 3T bisa dioptimalkan.
“Misalnya bandwidth yang terbatas itu terpakai untuk hal yang lebih optimal seperti edukasi, pekerjaan, kesehatan dan lainnya. Bukannya habis untuk nonton streaming video high-quality yang memakan bandwith banyak,” ungkap Sigit.
Berdasarkan pengalaman, Sigit menilai kemampuan memahami literasi pada generasi milenial, termasuk di perdesaan, terbilang relatif cepat. “Jadi tinggal dijalankan programnya saja,” tegasnya.
Dengan begitu, harapannya tak ada lagi linang air mata di pipi mama Maria dan perajin lain lantaran tak mampu menjajakan produk. (Albertus Agung Moa Padji)