Akses NIK Bayar Rp1.000, ICSF: Langgar Prinsip Perlindungan Data

Rahmi Yati
Kamis, 21 April 2022 | 16:54 WIB
Ilustrasi KTP elektronik atau e-KTP/Dirjen Dukcapil Kemendagri
Ilustrasi KTP elektronik atau e-KTP/Dirjen Dukcapil Kemendagri
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Usulan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri yang menarik biaya Rp1.000 untuk mengakses Nomor Induk Kependudukan (NIK) dinilai dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan data.

Namun begitu, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja memahami bahwa pemerintah khususnya Dukcapil tidak bisa lagi hanya mengandalkan anggaran yang tersedia untuk mengelola infrastruktur kritis apalagi volume data yang sekarang dikelola luar biasa besar.

"Ide mengenakan biaya akses kepada pengguna akses data menurut hemat saya memang tidak ada pilihan dan harus mencari alternatif penunjang pembiayaan walaupun hal ini memang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi," kata Ardi, Kamis (21/4/2022).

Menurutnya, penggunaan data-data kependudukan banyak dilakukan berbagai pihak disamping kementerian dan lembaga pemerintah. Misalnya, lembaga keuangan, baik yang bank maupun non-bank terutama untuk verifikasi status kependudukan yang dikenal dengan "KYC" atau "Know Your Customer/Client" yang memang harus dilakukan berdasarkan berbagai aturan dan undang-undang.

Selain itu, sambung dia, dengan semakin bertambahnya berbagai program digitalisasi di berbagai sektor, tentunya volume data juga akan meningkat tajam dan menambah beban terhadap manajemen serta pengelolaan data oleh para pengelola data elektronik seperti Dukcapil dan lainnya.

"Kami di industri teknologi informasi memahami dalam kondisi terkini dipelukan Six Ware [dikutip dari buku DR. Rudy Gultom, "Cyberwarefare- Sudah Siapkah Kita Menghadapi?"] yang sudah harus dimasukan di dalam perencanaan proses transformasi digital," ucapnya.

Adapun enam hal yang dimaksud adalah, kesiapan faktor manusia, kesiapan perangkat keras sistem komputer, kesiapan sistem perangkat lunak/aplikasi, kesiapan infrastruktur dan sistem jaringan komputer, kesiapan dokumen pendukung penyelenggaraan sistem komputer serta kegiatannya, dan kesiapan sumber daya anggaran.

"Tanpa memperhatikan enam parameter dasar ini maka akan sulit bagi pengelola sistem elektronik [PSE] untuk bisa memenuhi standar perlindungan data maupun keamanan siber," imbuh Ardi.

Dia menambahkan, sederhananya saat ini pemerintah memiliki kurang lebih 250 juta data penduduk. Jumlah itu akan terus bertambah seiring dengan jumlah kelahiran dan NIK terdaftar yang harus dikelola oleh Dukcapil.

Sementara itu, lanjutnya, satu NIK juga memiliki banyak kebutuhan yang melekat seperti BPJS, pajak dan lainnya sehingga volumenya menjadi sangat besar dan menjadi beban biaya pengelolaan tersendiri.

"Sebagaimana kita ketahui bersama bentuk-bentuk penganggaran publik seringkali tidak dapat mengikuti perkembangan dan perubahan kebutuhan dan teknologi yang kerap berubah dalam hitungan menit. Dan hal ini bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia, tetapi sudah menjadi fenomena global," tutupnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmi Yati
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper