Pakar: e-Voting untuk Pemilu 2024 Sebaiknya Tunggu UU PDP Rampung

Rahmi Yati
Senin, 28 Maret 2022 | 17:32 WIB
Warga menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 56, Mekarjaya, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/12/2020). TPS Pilkada Serentak 2020 dengan tema Kesehatan tersebut dibuat untuk menarik warga menggunakan hak pilih dan mengingatkan tentang protokol kesehatan di masa Pandemi COVID-19./Antara
Warga menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 56, Mekarjaya, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/12/2020). TPS Pilkada Serentak 2020 dengan tema Kesehatan tersebut dibuat untuk menarik warga menggunakan hak pilih dan mengingatkan tentang protokol kesehatan di masa Pandemi COVID-19./Antara
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan merampungkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebelum memutuskan menerapkan e-voting pada pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Ahli keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mengatakan dengan adanya UU PDP, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya.

"Sebaiknya menunggu UU PDP rampung. Bila belum siap benar soal sistem dan pengamanannya, sebaiknya e-voting jangan terburu-buru," kata Pratama, Senin (28/3/2022).

Dia mengakui bahwa sistem e-voting sangat mungkin untuk dilakukan di Indonesia, apalagi saat ini data-data kependudukan juga sudah dimanfaatkan secara digital oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

Namun, sambungnya, praktik e-voting ini memerlukan proses, misalnya untuk awal hanya dilaksanakan di kota besar yang infrastrukturnya sudah mapan. Sebab, akan berbahaya dan berisiko besar bila e-voting langsung diterapkan secara nasional pada Pemilu 2024.

"Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk e-voting. Pertama adalah regulasi. Jangan sampai nanti ini menjadi celah digugat dan hasil e-voting malah dibatalkan. Jadi dari sisi UU harus clear lebih dulu," ucap Pratama.

Lebih lanjut dia menilai, ada banyak hal yang harus dibenahi sebelum menerapkan e-voting, misalnya soal data kependudukan mana yang dipakai, mengingat data di KPU bisa jadi berbeda dengan Dukcapil dan Kementerian Sosial.

Belum lagi masalah kebocoran data KPU. Pratama menuturkan hal ini sudah beberapa kali terjadi dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Namun selama dengan UU lama dan metode perhitungan suara manual, manipulasi data perhitungan suara lewat sistem elektronik milik KPU seperti website tidak akan berpengaruh pada perhitungan manual," tambah Pratama.

Lebih lanjut dia menyebut, kesiapan infrastruktur juga harus dipastikan dalam mendukung penerapan e-voting. Misalnya, apakah prosesnya akan mengandalkan full internet atau juga membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus, termasuk pengamanannya, agar tidak mudah menjadi korban peretasan.

Bukan itu saja, e-voting ini juga akan membutuhkan kesiapan pusat data nasional. Tanpa adanya infrastruktur itu, imbuhnya, akan mempersulit e-voting di Tanah Air.

"Kita memerlukan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan trafik penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data. Tak kalah penting adalah kesiapan SDM di lapangan. Ini tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi pada petugasnya di lapangan. Baik dari sisi regulasi, teknis sampai pada keamanan sistem itu sendiri," tutup Pratama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmi Yati
Editor : Kahfi
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper