Bisnis.com, JAKARTA – Ahli keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha menilai penerapan digitalisasi seperti sistem e-voting dalam pemilihan umum (Pemilu) akan berbahaya dan berisiko besar bila langsung diterapkan secara nasional di Pemilu 2024.
Dia mengakui sistem e-voting sangat mungkin untuk dilakukan di Indonesia, apalagi saat ini data-data kependudukan juga sudah dimanfaatkan secara digital oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
"Namun memang praktek e-voting ini memerlukan proses, misalnya untuk awalan hanya dilaksanakan di kota besar yang infrastrukturnya sudah mapan. Jadi akan berbahaya dan berisiko besar bila e-voting langsung diterapkan secara nasional pada Pemilu 2024. Harus dilaksanakan secara bertahap terlebih dahulu," kata Pratama, Senin (28/3/2022).
Menurut dia, ada banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum mengadopsi sistem e-voting tersebut. Mulai dari model atau teknis pelaksanaannya, apakah langsung menggunakan smartphone atau melalui tempat pemungutan suara (TPS) khusus seperti di Amerika Serikat.
Selain itu, sambung Pratama, juga bisa dilakukan seperti di Estonia. Pemilu elektronik di sana disebut sebagai i-Voting, yakni pemungutan suara lewat mesin elektronik khusus yang disiapkan pemerintah. Voting juga bisa dilakukan secara remote lewat internet dengan perangkat PC serta smartphone.
"Dengan adanya pandemi, kebutuhan e-voting telah bergeser ke voting secara remote lewat internet, bisa dengan PC maupun smartphone pemilih. Hal ini yang lebih rumit dan membutuhkan pengamanan sistem yang lebih advance," ucapnya.
Lebih lanjut menurut dia, pada prinsipnya e-voting ini harus disiapkan dengan baik dan meminimalkan kemungkinan gangguan sistemnya dari dalam dan luar negeri, terutama voting via internet.
Pratama menyebut keamanan harus dijadikan prioritas utama. Pasalnya, dalam berbagai kasus e-voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu. Artinya, harus ada proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga bisa bekerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk e-voting. Pertama adalah regulasi. Jangan sampai nanti ini menjadi celah digugat dan hasilnya malah dibatalkan. Jadi dari sisi Undang-undang harus clear lebih dulu. Lalu infrastruktur, yang mana harus ditentukan akan melakukan full lewat internet atau juga membuat TPS khusus untuk e-voting. Sistem ini yang harus disiapkan, termasuk pengamanannya agar tidak mudah menjadi korban peretasan. Lalu juga ini berkaitan dengan kesiapan pusat data nasional. Tanpa ada pusat data nasional, akan mempersulit e-voting di Tanah Air," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengusulkan pemungutan suara via internet (e-voting) dapat dilakukan pada Pemilu 2024. Dia merujuk pengalaman negara-negara, seperti Estonia dan India, yang telah lebih dulu menerapkan sistem ini.