Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai ada delapan hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemerintah menerapkan sistem e-voting dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Menurutnya, saat ini Indonesia masih belum saatnya mempergunakan sistem pemungutan suara elektronik tersebut mengingat banyak hal yang harus diperhatikan.
"Ada delapan sebab yang kiranya perlu dipertimbangkan sebagai risiko dan ancaman yang dapat membahayakan legalitas dan kredibilitas pemilu itu sendiri," kata Ardi, Senin (28/3/2022).
Dia memerinci, hal pertama yang patut jadi perhatian adalah keamanan penyelenggaraan pemilu yang sebenarnya tidak ada yang bisa menjamin. Rangkaian dan tahapan proses persiapannnya baik dari Sumber Daya Manusia (SDM) hingga teknologinya banyak dan beragam sehingga memungkinkan terbukanya peluang risiko baik yang disengaja ataupun tidak.
Kedua, pemilu dengan mempergunakan jaringan internet memunculkan risiko keamanan siber yang membuka peluang para peretas untuk melakukan gangguan dengan berbagai teknik termasuk serangan Denial of Service Attack (DDoS).
"Tujuannya adalah untuk melumpuhkan sistem penyelenggaraan proses pemilu yang dapat mencegah para pemilih untuk memasukkan hasil pilihannya yang berimbas pada tingkat kepercayaan publik pada proses pemilu itu sendiri," sebut Ardi.
Ketiga, tidak ada teknologi apapun yang benar-benar tidak bisa diretas. Semua teknologi memiliki kerentanan dan kompleksitas dari rangkaian sistem yang digunakan, termasuk sistem komputer, aplikasi dan lainnya yang harus terhubung dengan jaringan internet dan bisa mangandung "bugs" dan eror yang dapat dimanfaatkan oleh para peretas.
Keempat, kegiatan peretasan tidak mungkin bisa terdeteksi dan dicegah. Ardi menyebut, tidak seperti dalam e-commerce atau kegiatan online yang komersial, jejak-jejak digital di sistem pemilu digital sulit untuk bisa diaudit secara forensik digital karena adanya asas Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) yang juga dianut di Indonesia.
Kelima, verifikasi identitas pemilih di e-voting tidak akan mudah dilakukan karena perlu investasi besar membangun sistem verifikasi yang tidak mudah diretas.
Keenam, sistem e-voting harus "anynomous", karena bila tidak akan memungkinkan terjadinya pengintipan hasil pilihan para pemilih yang jutru melanggar prinsip-prinsip pemilu.
Ketujuh, e-voting lebih mudah diretas ketimbang platform e-commerce. Menurut Ardi, bentuk serangan siber seperti DDos dapat mencegah dan mengurungkan niat para pemilih untuk mempergunakan platform e-voting.
Serangan-serangan ini, sambung dia, dapat menyasar tempat e-voting di daerah-daerah yang belum memiliki pemahaman tentang literasi keamanan digital sehingga perangkatnya mudah disusupi malware dan sebagainya.
Kedelapan, adalah biaya yang diperlukan untuk membangun sistem penyelenggaraan pemilu secara e-voting. Biaya ini sangat mahal ketimbang manfaatnya mengingat saat ini risiko keamanan siber semakin meningkat dan teknik-teknik peretasannya juga semakin kompleks.
"Membangun sebuah sistem platform pemilu yang bersifat elektronik tidak akan mampu mengikuti berbagai perkembangan teknologi dan teknik peretasan yang terjadi [dalam hitungan menit]. Bahkan di Amerika Serikat sendiri rencana melakukan pemilu secara e-voting ini diurungkan karena faktor pertimbangan di atas," imbuhnya.