Mau Beli Ponsel Bekas Pakai dari Jepang? Simak Dulu Penjelasan Ini

Rezha Hadyan
Rabu, 8 September 2021 | 06:00 WIB
Ilustrasi gadget
Ilustrasi gadget
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Sudah jadi rahasia umum, beberapa jenis barang bekas dari Jepang punya tempat tersendiri bagi sebagian masyarakat Indonesia. Selain kendaraan seperti rangkaian kereta rel listrik (KRL), kapal, alat berat, atau bus, barang bekas dari negara tersebut yang banyak beredar di Tanah Air adalah ponsel.

Ponsel bekas dari Jepang yang kerap disebut sebagai ponsel limbah Jepang banyak diminati lantaran harganya murah serta menawarkan spesifikasi tinggi dan beragam fitur. Karena itu, di media sosial kerap muncul selentingan yang menyebut ponsel tersebut cocok untuk kaum BPJS alias bujet pas-pasan jiwa sosialita.

Ponsel limbah Jepang yang masuk ke Indonesia kebanyakan adalah ponsel yang masuk kategori flagship. Banyak di antaranya yang tidak beredar atau dijual secara resmi di dalam negeri sejak pertama kali perilisannya.

Adapun, merk-merk yang tersedia di pasaran sebagian besar berasal dari Negeri Matahari Terbit seperti Sony, Sharp, dan Fujitsu. Meski demikian, kalian juga bisa menemukan iPhone atau Google Pixel yang dijual sebagai ponsel limbah Jepang.

Syamsul Hidayat, sudah sejak tiga tahun lalu gemar membeli ponsel limbah Jepang. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun dia kerap berganti ponsel yang semuanya adalah ponsel bekas dari Negeri Matahari Terbit.

Dia sendiri mengaku awalnya tak punya niatan untuk menggunakan ponsel yang statusnya adalah barang buangan itu.

"Awalnya waktu kuliah tiga tahun lalu hilang handphone. Perlu gantinya, tetapi namanya mahasiswa bujet pas-pasan. Eh, ada teman yang menyarankan beli handphone bekas Jepang. Murah nggak sampai Rp1 juta harganya fiturnya macam-macam, kencang pula," ungkapnya kepada Bisnis belum lama ini.

Ponsel limbah Jepang pertama yang digunakan oleh Syamsul adalah Sony Xperia Z1 Compact yang dibeli dengan harga Rp750.000. Fiturnya, untuk ponsel dengan harga sedemikian murah terbilang canggih, karena dilengkapi dengan near field communication (NFC), kamera ciamik khas Sony, serta bersertifikasi tahan debu dan air.

Performanya juga jauh lebih baik dibandingkan dengan ponsel-ponsel murah atau low-end baru yang beredar pada masa itu. Mampu melibas gim-gim berat tanpa kendala.

"Mana ada harga segitu yang dijual resmi di Indonesia baru atau bekas bisa begitu. Handphone bekas Jepang ini solusi buat yang BPJS," selorohya.

Walaupun demikian, bukan berarti ponsel bekas Jepang selamanya baik. Syamsul sendiri sempat kurang beruntung lantaran mendapatkan barang dalam kondisi jelek ketika dia mengganti Sony Xperia Z1 Compactnya ke Sony Xperia Z4.

Kemampuan penangkapan sinyalnya tak stabil dan baterainya cepat sekali habis. Selain itu, kinerja ponselnya juga kurang stabil setelah dipasang beberapa aplikasi dan modifikasi.

"Namanya juga limbah, sampah. Jangan berharap banyak. Untung-untungan saja, makanya limbah Jepang ini tak jadikan handphone kedua aja. Buat pendukung sekalian iseng-iseng karena unik," tuturnya.

Pemerhati gawai dan pendiri komunitas Gadtorade Lucky Sebastian mengatakan ponsel limbah Jepang sebenarnya tidak layak digunakan walaupun menawarkan spesifikasi tinggi dengan harga terjangkau. Terlebih setelah adanya aturan pemblokiran International Mobile Equipment Identity (IMEI) terhadap ponsel ilegal.

"Limbah Jepang ini kan masuknya jelas ilegal, kalau ada pemblokiran IMEI tentu saja ponsel ini jadi tidak bisa digunakan lagi nantinya. Walaupun memang ada yang berani kasih garansi IMEI tembus atau bisa buka blokir tetap saja berisiko," katanya kepada Bisnis.

Selain itu, hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah adanya penguncian dari operator di Jepang. Di Jepang pengguna ponsel tidak bisa berganti nomor atau opertor semudah di Indonesia.

Ketika warga Jepang ingin membeli ponsel, maka mereka akan dikenakan kontrak selama 2 tahun dari operator dan mendapatkan paket berupa ponsel, paket data, dan nomor telepon. Setelah masa kontraknya habis, ponsel akan dikembalikan mengembalikan kepada operator untuk ditukar dengan unit baru.

Karena itu, di beberapa ponsel limbah Jepang kerap ditemukan tulisan atau tanda-tanda tertentu untuk menunjukkan operator seluler yang digunakan. Adapun, operator seluler yang dimaksud antara lain SoftBank, AU, dan DoCoMo.

"Setiap operator punya kebijakan tersendiri dan kadang band selulernya beda dengan di Indonesia. Sering kejadian di operator tertentu jaringannya tidak terkoneksi, khususnya yang 4G," ungkapnya.

Selain itu, yang perlu menjadi pertimbangan tentu saja ketidakjelasan kondisi ponsel. Membeli ponsel yang dijual hanya unit saja atau batangan dan tidak diketahui siapa pengguna sebelumnya tentu saja diibaratkan membeli kucing dalam karung.

"Kita enggak tahu itu sudah diapakan saja handphone-nya. Sudah pernah dibongkar atau belum entah di Jepang atau oleh penjualnya di sini. Kalau sudah dibongkar, pemasangannya benar atau tidak, spare part-nya original atau bagaimana," ujarnya.

Selain itu, hal yang perlu jadi pertimbangan adalah tidak adanya layanan purnajual dan ketersediaan suku cadang apabila di kemudian hari ponsel mengalami kerusakan. Tentu saja, ini akan merepotkan pengguna dan membuat ponsel berpotensi teronggok begitu saja setelah rusak.

"Rusak ya tidak bisa diperbaiki karena spare part tidak ada, akhinya jadi bangkai. Kalaupun ada biasanya kanibalan. Barang Jepang ini biasanya jeroannya juga beda lho sama yang dijual secara global atau diekspor. Ini repot," tutupnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rezha Hadyan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper