Dirjen Pendidikan Vokasi Tawarkan Konsep Link and Match kepada Industri

Ni Luh Anggela
Kamis, 15 Juli 2021 | 18:50 WIB
Webinar sinergi ekosistem riset terapan sebagai jembatan avokasi dan industri
Webinar sinergi ekosistem riset terapan sebagai jembatan avokasi dan industri
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Dirjen Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto menyatakan saat ini koneksi antara pendidikan vokasi dengan industri sudah terjadi tetapi belum optimal.
 
Karena itu, dia menawarkan konsep link and match kepada industri sebagai peningkatan koneksi tersebut.

“Jadi ada link and match antara vokasi dan industri. Minimal 8 standar ini harus dilakukan kalau kita benar-benar ingin punya kualitas.” kata Wikan dalam webinar Sinergi Ekosistem Riset Terapan sebagai Jembatan Vokasi dan Industri.

Webinar itu juga menghadirkan pembicara  Wakil Kadin Indonesia Adi Mahfudz Muhadji, dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Nunung Nuryartono.

Dia memaparkan, konsep link and match ini terdiri dari 8 standar. Pertama, kurikulum disusun bersama. Wikan mengaku, kurikulum akan di refom agar lebih berat pada pembentukan karakter dan soft skill daripada hardskill.
 
“Hardskill dan produktif iya, tetapi kita dikeluhkan karena lulusan kita kurang komunikasi, kurang mampu menghadapi tekanan dunia kerja, kita akan fokuskan kalau kita menyusun kurikulum bersama dengan industri itu soft skill karakternya kuat, hardskill akan otomatis kuat.” jelasnya.
 
Kedua, pembelajaran berbasis project riil dari dunia kerja (PBL) untuk memastikan hard skill akan disertai soft skill dan karakter yang kuat.
 
Ketiga, jumlah dan peran guru, dosen, instruktur dari industri dan ahli dari dunia kerja, ditingkatkan secara signifikan sampai minimal mencapai 50 jam per semester, per program studi.
 
"Jadi, dosen-dosen dari Kadin harus rutin kita hadirkan di kelas. Sejak semester satu, anak-anak kita sudah diekspos dengan kondisi nyata,"
 
Keempat, magang atau praktik kerja di industri atau dunia kerja, minimal dirancang 1 semester sejak awal. Harapan Wikan dan pendidikan vokasi lainnya, “kita jangan sampai langsung lompat ke nomor empat, sedangkan poin 2 dan 3 belum kita lakukan.”
 
Kelima, sertifikasi kompetensi, yang sesuai standar dan kebutuhan dunia kerja (bagi lulusan dan dosen, guru/instruktur).
 
Keenam, dosen/guru/instruktur secara rutin mendapatkan update teknologi dan pelatihan dari dunia kerja.
 
Ketujuh, riset terapan mendukung Teaching Factory atau Teaching Industry.
 
“Kalau kita bicara riset terapan, kita tidak bisa langsung lompat ke riset terapan. Ini bagian dari link and match. Riset terapan kita itu Teaching Factory/Teaching Industry harus bermula dari kasus nyata di Industri atau masyarakat. Sehingga kebijakan kita untuk riset terapan itu ya ini, start from the end.”
 
Ia menyebutkan riset itu dimulai dari MRL (MArket Readiness Level) bersama industri atau bersama kadin, kemudian merancang kalau kelak produk mereka nanti sudah selesai, bagaimana memproduksi massal dan mendeliver ke pasar atau ke masyarakat.
 
“Harus ada VRL (Venture Readiness Level). Jadi kita harus punya kesiapan mitra industri yang nanti memproduksi masal. Karena kalau kampus atau SMK diminta untuk memproduksi masal itu ya salah.”
 
Kampus vokasi atau SMK adalah pabrik ide atau pabrik prototype dan dilahirkan bersama dengan industri. Baru setelah itu TRL (Tehnical Readiness Level). Ini dipublikasikan setelah produk sudah jadi.
 
“Di HAKI, paten, atau produk register itu boleh dipublikasikan. Tapi jangan sampai mindset kita untuk melakukan link and match tadi hanya administratif.”
 
Terakhir, komitmen serapan lulusan, oleh dunia kerja (bukan mengharuskan, tapi komitmen kuat).
 
Pernyataan mengenai mindset bahwa riset yang dihasilkan hanya untuk mengejar publikasi langsung ditanggapi oleh Nunung Nuryartono, dekan fakultas ekonomi dan manajemen IPB.
 
Menurutnya,setidaknya harus  ada bobot yang sama  antara dosen-dosen yang melakukan publikasi, dosen aktif dalam masyarakat, termasuk ketika dosen menggerakan dan dosen yang menghasilkan output atau produk.
 
“Ini seyogyanya juga menjadi bagian dari penilaian  yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan artikel tadi. Termasuk ketika dia menghasilkan output atau produk. Kita tetap harus melakukan riset. Riset seperti apa yang diinginkan  apakah basic research atau  applied research. Nah kalau applied research, apa yang harus ditindaklanjuti agar itu betul-betul bisa digunakan oleh dunia industri.” ungkapnya.
 
Dia menambahkan, dalam melakukan penelitian, ada dosen dengan karakter basic research dan ada juga yang  applied research. Tetapi menurutnya yang lebih penting adalah bagaimana memasukkan applied research di dalam satu puzzle ekosistem riset nasional di Indonesia.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Ni Luh Anggela
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper