Pajak Penjualan Pulsa Sasar Distributor Besar, Bukan Konsumen

Dionisio Damara
Sabtu, 30 Januari 2021 | 12:15 WIB
Founder Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo (kiri) dan CEO PT Harmoni Solusi Bisnis & Organizer Fintax Fair 2019 Andoko Chandra memberikan paparan dalam konferensi pers Fintax Fair 2019, di Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Founder Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo (kiri) dan CEO PT Harmoni Solusi Bisnis & Organizer Fintax Fair 2019 Andoko Chandra memberikan paparan dalam konferensi pers Fintax Fair 2019, di Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) penjualan pulsa, kartu perdana, dan token listrik, yang menjadi perhatian masyarakat saat ini dipastikan tidak memengaruhi harga di tingkat konsumen.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa, sehingga menurut undang-undang penjual barang atau jasa wajib membayar pajak tersebut.

“Itulah kenapa PPN disebut pajak objektif karena yang dikenai objeknya yaitu konsumsi. Disebut juga pajak tidak langsung karena sasarannya konsumen barang atau jasa, tetapi pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai,” ujarnya di akun Twitter miliknya, Sabtu (30/1/2021).

Menurutnya, publik tidak perlu kaget atas kebijakan Kementerian Keuangan, yang tertuang dalam PMK 06/PMK.03/2021. Aturan ini bertujuan menyederhanakan pengenaan PPN dan PPh atas pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucer serta memberi kepastian hukum.

Yustinus mengatakan, bahwa publik tidak perlu kaget atas ketentuan tersebut, karena pajak terhadap jasa telekomunikasi telah berjalan sejak penerbitan PP 28/1988 yang ditegaskan dengan SE-48/PJ.31988 tentang Pengenaan PPN Jasa Telekomunikasi.

Dengan terbitnya peraturan itu, lanjutnya, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik telah dikenai pajak. Untuk itu, kini perusahan provider telekomunikasi wajib membayar pajak tersebut.

“Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya,” tutur Yustinus.

Namun, aturan itu menimbulkan permasalahan di lapangan. Pasalnya, distributor dan pengecer menengah-kecil, yang masuk sebagai bagian mata rantai jasa telekomunikasi, kesulitan menjalankan kewajiban pajak karena secara administrasi belum mampu.

Yustinus menyebut bahwa kondisi itu membuat perselisihan di lapangan tak terhindarkan sehingga berakibat ketidakpastian. Oleh sebab itu, Kementerian Keuangan menelurkan PMK 06/PMK.03/2021 untuk memberikan kepastian.

“Yang intinya memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak agar seragam karena dipahami sebagai jasa, lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa,” ujarnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Dionisio Damara
Editor : Nancy Junita
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper