Indosat (ISAT) & Tri Indonesia Merger, Ini Keuntungannya

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 22 Desember 2020 | 17:01 WIB
Aplikasi Bima yang disediakan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri Indonesia) untuk pelanggannya./dok. Tri Indonesia
Aplikasi Bima yang disediakan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri Indonesia) untuk pelanggannya./dok. Tri Indonesia
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Merger antara PT Hutchison 3 Indonesia (Tri Indonesia) dan PT Indosat Tbk. (ISAT) diyakini bakal membuat industri telekomunikasi makin sehat dan menguntungkan bagi pelanggan.

Chief of Marketing Jarvis Asset Management, Kartika Sutandi mengatakan bahwa peleburan kedua perusahaan telekomunikasi akan memberikan dampak positif bagi industri telekomunikasi. Salah satunya adalah harga layanan yang makin ‘masuk akal’ sehingga perusahaan menjadi untung.

“Kalau sedikit pemain kan kompetisi makin longgar. Jumlah pelanggan sesuai dengan jumlah pemain. Tidak perlu rebutan pelanggan [dengan banting harga] karena less competition,” kata Kartika kepada Bisnis.com, Selasa (22/12/2020).

Kartika menambahkan bahwa kompetisi yang makin longgar tersebut akan membuat pendapatan operator lebih baik, sehingga kemampuan operator di industri untuk menggelar jaringan – baik berupa peningkatan kapasitas atau ekspansi – akan makin optimal, khususnya bagi perusahaan yang merger.

Kartika pun menyarankan kepada PT XL Axiata Tbk. dan PT Smartfren Telecom Tbk. untuk melakukan hal serupa, agar tercipta persaingan yang makin sehat di industri telekomunikasi dan juga meringankan beban keduanya dalam gelar jaringan di desa.

“Dengan konsolidasi mereka memiliki kemampuan untuk menggelar jaringan yang berkualitas hingga desa-desa. Kalau sendirian pasti mati, kalau bergabung jadi mudah. Karena biayanya mahal,” kata Kartika.

Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis.com, untuk menggelar layanan di desa-desa dengan menggunakan satelit, membutuhkan biaya sekitar Rp60 juta-Rp70 juta per titik desa/bulan, adapun Kartika menyebut bahwa untuk menggunakan satelit membutuhkan biaya sekitar Rp100 juta per desa/per bulan.

Artinya, untuk menggelar 100 titik dibutuhkan biaya sekitar Rp6 miliar-Rp10 miliar per desa/bulan. Jumlah tersebut belum termasuk biaya instalasi dan pemasangan tiang dan BTS di awal.

Adapun saat ini operator seluler dibebani tanggung jawab menggelar 4G di ratusan titik sebagai persyaratan untuk perpanjangan penggunaan spektrum frekuensi radio di pita 800,900 dan 1800 MHz.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper