Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat telekomunikasi menilai ketidakhadiran operator seluler di desa-desa non-4G karena wilayah tersebut tidak menguntungkan, sehingga masuk dalam kategori wilayah universal service obligation (USO).
Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono menilai bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, salah dalam mendefinisikan 3.435 desa yang belum mendapatkan layanan 4G.
Menurutnya, desa-desa tersebut masuk ke dalam wilayah USO, sehingga kewajiban pembangunan jaringan 4G berada di ranah pemerintah, melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti).
Berdasarkan Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, kata Nonot, wilayah USO adalah wilayah yang tidak menguntungkan. Operator seluler tidak ada yang menggelar di desa-desa tersebut karena tidak menguntungkan secara bisnis dan jumlah penduduk yang sedikit.
“Karena itu wilayah USO maka tidak ada operator yang mau bangun [jaringan]. Operator kan mencari untung. Kalau tidak menguntungkan masa harus investasi, makanya ada konsep USO,” kata Nonot kepada Bisnis.com, Jumat (11/12/2020).
Dia mengatakan bahwa Kemenkominfo hakikatnya memiliki wewenang untuk menetapkan daerah USO dan non-USO. Namun sayangnya, hingga saat ini Kemenkominfo tidak pernah menetapkan dan mengeluarkan kriteria daerah USO dan non-USO.
Menurutnya, penetapan 3.435 desa sebagai daerah komersial non-USO yang belum mendapatkan layanan 4G, dinilai sangat mendadak dan tidak transparan.
Menurutnya pembangunan jaringan di wilayah USO adalah sinergi antara pemerintah dengan operator seluler. Selama ini sinergi tersebut telah berjalan. Operator menyumbangkan iuran USO sebesar 1,25 persen dari total pendapatan.
“[Ini kebijakan baru] karena menteri sebelumnya tahu kalau itu wilayah USO. Kalau ditekankan ke operator [untuk membangun jaringan] itu bukan suatu kebanggaan,” kata Nonot.