RCTI Gugat UU Penyiaran, APJII: Tak Mampu Hadapi Disrupsi Teknologi

Leo Dwi Jatmiko
Sabtu, 29 Agustus 2020 | 14:18 WIB
Ilustrasi proses syuting sebuah program televisi di stasiun televisi./ Dok. scm.co.id
Ilustrasi proses syuting sebuah program televisi di stasiun televisi./ Dok. scm.co.id
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Ketidakmampuan lembaga penyiaran dalam menghadapi disrupsi teknologi diduga menjadi akar lahirnya gugatan yang dilayangkan oleh RCTI dan iNews.

Ketua Orgarnisasi dan Keanggotaan Asosiasi penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Handoyo Taher menilai bahwa lahirnya gugatatn merupakan bentuk ketidaksiapan lembaga penyiaran yang ada terhadap perubahan yang begitu cepat.

Perubahan dalam bisnis model misalnya, jika dahulu pemilik konten harus membayar jika ingin publikasi atau naik tayang, melalui digital pemiliki kontan bebas biaya dalam mempublikasi bahkan justru dibayar dari konten kreatif yang mereka hasilkan.

Siaran digital seperti live streaming, sebut Handoyo, dahulu masih sangat jelek sehingga tidak dilihat sebagai ancaman oleh lembaga penyiaran konvesional, namun seiring dengan teknologi yang makin matang dan bisnis model yang makin sempurna, lembaga penyiaran merasa terancam.

“Saya menghitung kira-kira ARPU [pemilik konten di siaran digital] hanya Rp250 per user per bulan, jadi kalau dia punya 1 juta pengikut atau penonton maka 250 dikalikan 1 juta, sekitar itu pendapatannya kira-kira,” kata Handoyo dalam acara Webinar Live Streaming di Medsos Sah atau Tidak, Jumat (29/8/2020).

Sementara, Ketua Umum ATSDI Eris Munandar berpendapat bahwa gugatan yang dilakukan oleh RCTI dan iNews TV berkutat pada kontek penyiaran digital. Padahal, antara penyiaran konvesional dengan penyiaran di digital (live streaming) sangat berbeda.

Siaran konvesional bersifat satu siaran disalurkan ke banyak orang dalam satu waktu, sedangkan siaran digital yaitu, satu siaran disiarkan ke banyak orang dengan waktu berbasis permintaan penonton.

Dia mengatakan bahwa hadirnya siaran digital telah membuat basis penonton siaran konvesional berkurang. Seharusnya, hal ini dihadapi dengan peningkatan SDM dan kualitas konten tayangan.

“Ini harus jadi cambuk kenapa penonton di konten YouTube lebih banyak dibandingkan dengan program-program di televisi,” kata Eris.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper