Bisnis.com, JAKARTA – Hadirnya Google Cloud Platform Region Jakarta diperkirakan bakal menciptkan kompetisi yang makin ketat di bisnis komputasi awan (cloud computing).
Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan GCP ketatnya persaingan antarpelaku usaha komputasi awan terjadi antara pelaku usaha lokal dan asing.
Namun demikian dia menyayangkan sikap pemerintah yang masih cenderung mengutamakan perusahaan asing. Hal itu meurutnya akan mempengaruhi persaingan antara pelaku usaha lokal dan asing.
“Tinggal bagaimana sekarang pemerintah berpihak, apakah akan berpihak kepada provider asing dengan memberikan tax holiday yang dinikmati oleh para pemain asing, di mana para pemain lokal sama sekali tidak mendapatkan insentif semacam ini. Apabila pemerintah terlalu pro-investasi dan pro-asing maka akan sangat sulit untuk local provider bisa bersaing,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Rabu, (24/6).
Untuk diketahui, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam Seminar Nasional Kajian Ekonomi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kamis, (18/6), menyampaikan bahwa kelompok industri yang diberikan fasilitas tax holiday meliputi 27 wajib pajak (WP) dari sektor infrastruktur ekonomi, yaitu 31 WP dari industri logam, 14 WP dari industri kimia, dan 3 WP dari industri aktivitas hosting.
Alex pun berharap pemerintah bisa lebih melindungi para pemain lokal. Salah satunya caranya dengan memberikan dorongan kepada para pemain dalam negeri untuk bisa bersaing dengan para pemain asing. Menurutnya, pemerintah perlu menciptakan same level playing field (bidang bermain di tingkat yang sama) sehingga persaingan yang ada bisa tetap sehat.
Same level playing field, menurutnya adalah kondisi yang diciptakan pemerintah untuk meminimalisir raksasa teknologi dengan bebas bisa menguasai pasar, dia mengatakan bahwa justru pemain asing harus diberikan beban lebih sehingga larinya sama dengan pemain lokal.
“Yang kami lihat sejauh ini adalah, atas nama investasi, pemerintah malah memberikan support kepada para pemain asing, tax holiday, dan sebagainya tanpa pernah sama sekali berdiskusi dan mencoba mendengarkan keluh kesah pemain lokal. Apabila hal ini dibiarkan maka infrastruktur digital kita akan dengan mudah dikuasai oleh para pemain asing,” tambahnya.
Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kristiono melihat bahwa Indonesia merupakan pasar yang besar sehingga merupakan langkah yang wajar pemain asing seperti Google akan hadir dalam kompetisi awan Tanah Air.
Menurutnya, raksasa teknologi sekelas Google pun tetap membutuhkan dan membeli lebar pita (bandwidth) dalam negeri, serta dari sisi lain, hadirnya mereka menjadi kesempatan bagi taleta Indonesia untuk belajar dan bekerja sehingga dapat meningkatkan kompetisinya.
“Kompetisi pasti tambah ketat, tetapi juga akan mendorong semua pihak menaikkan kualitasnya agar tetap mampu bersaing, sehingga tidak perlu ada dikotomi cloud asing atau lokal yang penting mereka buka perusahaan dan investasi di indonesia daripada mereka diluar. Toh, mayoritas Aplikasi dari luar jadi justru kita yang beli bandwidth luar negeri untuk sampai ke cloud mereka seperti selama ini menghamburkan devisa,” jelasnya.
Kristiono melihat bahwa urgensi saat ini bagi pemain lokal adalah untuk memetakan strategi pasarnya dan cari cara penetrasi pasar yang disasar dengan penawaran yang lebih kompetitif daripada pesaingnya.
Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joseph Matheus Edward pun mengatakan saat ini penting agar regulasi server untuk mengatur data penting yang harus ada di Indonesia. Menurutnya, ini jadi langkah bagi pemain lokal untuk bekerjasama dengan pemain asing.
“Seharusnya menjadi salah satu alternatif pilihan cloud lokal. Dan pemain lokal dapat bekerjasama. [Pemain lokal] juga dapat bekerjasama dengan penyedia aplikasi yang sering digunakan seperti konferensi video, layanan e-commerce, edukasi, perkantoran, dan lainnya. Adapun mereka juga dapat membangun sendiri aplikasinya seperti Google Class Room, Google Meet,” jelasnya.