Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) meminta pemerintah segera menerapkan kebijakan dan perlakuan yang setara antara perusahaan televisi telestrial dengan platform layanan video on demand (VoD) seperti Youtube dan Netflix.
Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar melihat kebutuhan revisi Undang-undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang mencakup layanan video streaming perlu dikebut.
Percepatan revisi tersebut berkorelasi dalam memberikan kepastian hukum dan kesetaran terhadap industri penyiaran sesuai perkembangan zaman
Baca Juga Netflix Bakal Saring Pengguna Nonaktif |
---|
“Perlu ada kesetaraan dalam regulasi, selama ini ada ketidakadilan dalam proses regulasi, televisi mainstream yang teresterial wajib patuh, akan tetapi mereka media baru [layanan video streaming] seperti Netflix dan Youtube seharusnya juga melakukan hal yang sama,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Selasa, (2/6/2020).
Dia mengatakan pemerintah perlu serius untuk melakukan proses pendekatan pada pelaku VoD. Pasalnya konten di platform tersebut selama ini tidak masuk dalam pengawasan ketat seperti yang diberlakukan pemerintah ke stasiun televisi digital dan analog. Hal ini dibutuhkan untuk menciptakan kesetaraan dalam industri penyiaran.
“Pemerintah harus serius untuk melakukan pendekatan pada Netflix, Youtube, dan lainnya. Bagaimana pajaknya juga yang perlu diatur, perlu juga adanya kantor perwakilan agar SDM [sumber daya manusia] kita juga bisa terserap,” terangnya.
Sebelumnya, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diminta oleh INews TV dan RCTI untuk diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran tidak mengatur penyedia layanan siaran melalui internet seperti, Youtube dan Netflix.
Adapun mengutip melalui laman resmi Mahkamah Konstitusi, pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).
Eris pun menyayangkan bahwa bila revisi undang-undang tersebut rampung lebih cepat, fenomena seperti hal diatas dapat miniminalisir, karena sudah memiliki payung hukum dan aturan yang jelas.
“Contoh lain, seperti P3SPS [Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran] penyelenggara televisi membuat konten dengan hati-hati dan berita mengacu pada kode etik jurnalistik, tetapi di Youtube dan sebagainya ini justru bebas dan selama ini informasi hoaks justru muncul dari media baru kan. Sedangkan ini [hoaks] dapat diminimalisir di media mainstream,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menjelaskan bahwa DPR telah mempersiapkan revisi UU Penyiaran dengan memasukan pengaturan kepada VoD di dalamnya.
“Sesungguhnya Netflix, Youtube dan sejenismemang harus tunduk pada UU Penyiaran, di revisi UU nanti akan kami atur. UU itu dibuat saat internet belum seperti sekarang, makanya komisi 1 sedang mempersiapkan revisi UU itu dan pasti tercantum. RUU Penyiaran akan dimulai pada periode ini, hal-hal yang berkaitan dengan media baru tersebut tentunya akan menjadi perhatian kami di komisi 1,” jelasnya.