Ini Sederet Keuntungan MNC Vision Setelah Mengakuisisi First Media

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 3 Desember 2019 | 12:41 WIB
Ilustrasi/firstmedia.com
Ilustrasi/firstmedia.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Akuisisi PT MNC Vision Networks Tbk. (IPTV) terhadap saham mayoritas PT First Media Tbk dan Asia Link Dewa  di PT Link Net Tbk. (LINK) diyakini bakal menciptakan profitabilitas yang lebih tinggi. Apa saja keuntungannya bagi IPTV?

Direktur Utama PT MNC Vision Networks  Tbk Ade Tjendra mengatakan akuisisi tersebut berpotensi menciptakan pembaruan dalam hal konten, jaringan, bandwidth dan lalin sebagainya, yang menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang lebih kuat serta peningkatan profitabilitas karena penghematan biaya. 

Ade tidak bisa menceritakan lebih jauh  mengenai struktur kepemilikan sebab saat ini masih dalam proses. “Masih proses akuisisi basisnya dari proses finalisasi due dilligence yang berjalan,” kata Ade kepada Bisnis.com, Senin (2/11/2019). 

Dia mengatakan akuisisi juga berpeluang membuat IPTV memperoleh pendapatan tambahan dari hasil pemasaran konten yang lebih tinggi, peningkatan penjualan iklan, homepass tambahan sebagai hasil dari relokasi jaringan yang tumpang tindih, dan pendapatan over-the-top dari Subcrition Video on Demand atau konten acara TV jaringan internet.

Dari sisi biaya, IPTV juga akan lebih hemat. Sebab, skala ekonomi dalam biaya konten, pengurangan biaya bandwidth, biaya operasional yang lebih rendah, serta penggunaan yang lebih efektif untuk biaya pemasaran.

Ade mengatakan  bahwa transaksi ini tinggal menunggu beberapa persyaratan terpenuhi dan penandatangan perjanjian mengikat yang definitif.

“Kami semua sangat senang bisa menyetujui persyaratan komersial untuk memperoleh LINK. Jika kesepakatan berhasil, kombinasi ini akan menguntungkan perusahaan, yang seharusnya secara signifikan meningkatkan kehadirannya di bisnis broadband dan TV Kabel,” kata Ade. 

Diketahui, hingga September 2019, MNC Vision mengklaim memiliki pelanggan hampir mencapi 2,5 juta pelanggan. MNC Play yang merupakan anak perusahaan, menyumbangkan sekitara 300 ribu pelanggan, dengan jumlah kabel yang melewati rumah atau homepass mencapai 1,5 juta.  

Sementara itu, PT Link Net Tbk membukukan pendapatan sebesar Rp960milyar pada kuartal III/2019, tumbuh 9,3% secara tahunan. Dengan EBITDA sebesar Rp540milyar atau tumbuh 1,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pada periode tersebut, Link Net juga berhasil menambahkan 84.231 homepass sehingga  total homepass yang dimiliki menjadi 2.396.714.

Kemudian, jumlah pelanggan bertambah 29.019 pelanggan bersih pada kuartal III/2019 sehingga total pertumbuhan pelanggan menjadi 51.024 selama periode Januari- September 2019. Angka ini berada pada jalurnya untuk mengejar penambahan 70.000 pelanggan selama 2019.

Sebelumnya, Presiden Direktur & CEO Link Net, Marlo Budiman mengatakan bahwa First Media memiliki saham di Link Net sebesar 27,4%, kemudian publik memiliki saham sebesar 38% dan sisanya dipegang oleh investor lokal dan asing.

Marlo mengatakan bahwa pemegang memberi arahan untuk terus menggenjot kinerja perusahaan. Meski demikian, jika ada tawaran yang menarik dengan  harga premium maka Link Net terbuka untuk diakuisisi.

Marlo mengatakan bahwa keluarnya First Media dari industri layanan internet tetap tidak ada hubungannya dengan modal besar yang harus digelontorkan dalam bisnis telekomunikasi ini. Menurutnya, modal besar yang dikeluarkan sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.

 “Link Net ini sudah menarik begitu banyak minat investor, bukan sekarang saja,” kata Marlo.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Muhammad Arif Angga mengatakan bahwa saat ini jumlah perusahaan penyelenggara jaringan di Indonesia yang mengantongi izin mencapai lebih dari 100 perusahaan. Adapun yang tercatat sebagai anggota Apjatel hanya 47 perusahaan.

Dia mengatakan dengan jumlah yang besar tersebut, konsolidasi  menjadi starategi untuk membuat industri jaringan telekomunikasi makin sehat. Sebab, dengan jumlah pemain yang banyak keutungan yang diperoleh masing-masing perusahaan kurang optimal.  

 “Saat ini terlalu banyak pemain bahkan terkadang beropersai di ruang yang sama, misalnya suatu daerah hanya ada 10 kue untuk 10 operator, ini justru ada 20 operator sehingga ada yang tidak kebagian,” kata Arif.

Padatnya jumlah pemain penyelenggara jaringan memang menjadi tantangan industri penyelenggara jaringan telekomunikasi. Pemain yang gemuk membuat persaingan mengarah pada harga, sehingga harga sewa infrastruktur telekomunikasi, khususnya jaringan tulang punggun antarkota makin murah.

Berdasarkan data yang diterima Bisnis, diketahui nilai sewa jaringan tulang punggung atau backbone internasional per bulan per GB mengalami penurunan tajam dari Rp250 juta pada 2014 menjadi Rp50 juta pada 2019.

Kemudian untuk jaringan tulang punggung domestik harganya turun dari Rp75 juta pada 2014 menjadi Rp20 juta pada 2019. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper