Kompetisi Internet Rumahan: IndiHome Dibayang-bayangi ICON+

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 9 September 2019 | 06:35 WIB
Layanan triple play/Ilustrasi-tvnerd.com
Layanan triple play/Ilustrasi-tvnerd.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – PT Indonesia Comnet Plus (ICON+) berencana melakukan ekspansi agresif dan meramaikan kompetensi bisnis fiber to the home (FTTH), dengan menyasar sejumlah kota-kota besar di Indonesia pada tahun ini.

Sekretaris Perusahaan ICON+ Tetty Indrawati mengatakan dalam melakukan ekspansi, perseroan akan berfokus pada pelanggan PLN, sebagai induk ICON+,  yang berminat melakukan tambah daya listrik khususnya di kota besar.

Dia mengatakan sejumlah kota besar yang dimaksud misalnya, Medan, Pekanbaru, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Balikpapan dan Makassar. Kemudian, untuk beberapa kota lainnya akan menyusul pada tahun selanjutnya.

Tetty menuturkan dalam berekspansi mengambil pelanggan baru, perseroan akan hadir dengan menawarkan harga yang kompetitif dengan layanan yang optimal dan promo seperti promo HUT RI ke-74.   Diketahui hingga saat ini, jaringan serat optik ICON+ sekitar 69.000 Km, dengan jumlah pelanggan mencapai 2.200 pelanggan.

Adapun berdasarkan laporan ICON+ pada 2018,  ICON+ mencatatkan pendapatan senilai Rp2,16 triliun, naik 17,69% dibandingkan dengan 2017 yang senilai Rp1,84 triliun.

“Di samping itu, dengan menawarkan produk bundling antara layanan kelistrikan dari PLN dengan layanan internet multimedia dari ICON+ menjadi satu kesatuan program pemasaran bersamam,” kata Tetty kepada Bisnis.com, beberapa waktu lalu.

Tetty menuturkan  saat ini cakupan ICON+ telah menjangkau secara nasional, karena memanfaatkan jalur infrastruktur Right of Way (Row) PLN. Meski demikian masih ada beberapa daerah yang akan disasar pada 2020 antara lain Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur .

Di luar jalur tersebut, kata Tetty, perseroan juga tetap menggelar jaringan baru untuk melayani potensi calon pelanggan yang belum masuk dalam cakupan.

“Dengan wilayah cakupan nasional kecuali Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur yang akan masuk cakupan mulai tahun 2020,” kata Tetty.  

Sebelumnya, Induk ICON+, PT PLN (Persero) menargetkan pada tahun ini akan ada  500.000 pelanggan yang melakukan tambah daya dan 20.000 pelanggan untuk penyambungan sementara. 

PLN menggandeng ICON+  sebagai daya tarik dengan menawarkan produk internet murah saat mengaktivasi program tambah daya untuk mengejar target tersebut. Program ini berlaku untuk pelanggan daya mulai 450 Volt Ampere (VA) hingga 197 kilo Volt Ampere (kVA).

Melalui produk Stroomnet milik ICON+, PLN  menawarkan paket dengan fasilitas kecepatan internet up to 5 Mbps – 100 Mbps dengan harga Rp95.000 – Rp668.000 per bulan. Adapun jika ingin ditambah dengan paket IPTV melalui produk Stroomnet TV, PLN mematok harga mulai dari Rp279.000 – Rp852.000.  

Sementara itu, Analis Kresna Sekuritas Etta Rusdiana Putra menilai ekspansi agresif yang dilakukan oleh ICON+ seperti pedang bermata dua bagi IndiHome, layanan internet, tv dan telepon rumah milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (persero).

Etta  mengatakan dengan basis pelanggan PLN yang lebih besar dari Telkom, ICON+ memiliki potensi besar untuk menambah jumlah pelanggan mereka, sehingga dapat menjadi ancaman bagi bisnis IndiHome.

Diketahui per 2018 jumlah pelanggan PLN mencapai 71.1 juta pelanggan, angka tersebut berpotensi untuk dihubungkan dengan layanan ICON+.

Di samping itu, kata Etta, dalam berekspansi ICON+ menawarkan potongan harga layanan, sehingga paket mereka lebih murah dibandingkan dengan IndiHome.

Untuk internet 20Mbps dengan TV, ICON+  menawarkan harga senilai Rp346.000 sementara itu, IndiHome senilai Rp420.000. Artinya harga layanan ICON+ 20% lebih murah dibandingkan dengan IndiHome.   

Etta mengatakan ICON+ bisa menawarkan harga yang lebih murah karena ICON+ tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk belanja modal gelar jaringan.

ICON+ memanfaatkan infrastruktur milik PLN untuk membangun akses internet. Mereka hanya menambah kabel serat optik.

“PLN memiliki keunggulan absolut, karena mereka memiliki dan mengoperasikan listrik yang paling luas dan terintegrasi jaringan distribusi di seluruh Indonesia, Siap digunakan untuk akses internet,” kata Etta.

Selain menjadi ancaman, kata Etta, ICON+  juga bisa menjadi terobosan yang memperkuat bisnis Telkom. Dia mengatakan dengan mengantongi label BUMN, kedua perusahaan dapat berkolaborasi sehingga tercipta efisiensi dalam berbisnis. 

Etta berpendapat berdasarkan perhitungan Kresna Sekuritas, kapasitas keuangan ICON + terbatas, karena pendapatannya pada 2018 hanya senilai Rp2,16 triliun dengan laba bersih senilai Rp442 miliar. Sedangkan ekuitas hanya Rp2,1 triliun.

Dia mengatakan dengan modal yang terbatas, ICON+ membutuhkan mitra jika ingin berekspansi secara agresif dan memenuhi seluruh kebutuhan pelanggan PLN. 

Mengenai mitra yang ideal, Etta berpendapat bahwa Telkom dapat menjadi mitra yang tepat dalam melakukan ekspansi. Alasannya, Telkom merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Kerja sama keduanya, kata Etta, akan menjadi titik masuk untuk holding telekomunikasi. 

"Kami optimis akan seperti itu, melihat strategi pemerintah secara umum di Indonesia menciptakan perusahaan induk," kata Etta.

Etta berpendapat dengan keuangan yang kuat, Telkom sebaiknya berkerja sama dengan ICON+ dan berinvestasi di sana, dibandingkan dengan membeli menara milik Indosat. 

Selain itu, alasan lainnya, kata Etta, Telkom juga memiliki jaringan tulang punggung internet internasional yang dapat membantu ekspansi ICON+. 

Mengenai kolaborasi dengan ICON+ di bisnis internet ke rumah atau Fiber to the Home (FTTH), Vice President Corporate Communication Telkom Arif Prabowo mengatakan kemungkinan untuk kerja sama antara kedua perusahaan dimungkinkan, termasuk dalam pemanfaatan jaringan tulang punggung internasional milik Telkom.

Hanya saja, sambungnya, hingga saat  ini belum ada pembicaraan antara ICON+ dengan Telkom.  

“Ya memungkinkan karena jaringan internasional kami juga disewa atau digunakan oleh operator lain,” kata Arif kepada Bisnis.com.

Adapun jika keduanya tidak berkolaborasi, kata Arif, hal tersebut tidak menjadi masalah mengingat pangsa pasar bisnis FTTH masih terbuka luas.

“Artinya begini di bisnis ini kami tidak mau monopoli siapapun bisa masuk ke sana, Kalau kita lihat kan jumlah rumah tangga di Indonesia ini cukup banyak. Katakanlah 60 jutaan, sekarang yang baru bisa dilayani masih sangat sedikit,” kata Arif.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper