Bisnis.com, JAKARTA — Eksploitasi data pengguna layanan internet saat ini adalah fokus utama dalam isu perlindungan konsumen. Untuk itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta agar pemerintah dan DPR segera menerbitkan undang undang tentang perlindungan data pribadi.
Ketua Umum YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa isu perlindungan data pribadi ini kini tengah menjadi isu global yang juga diperhatikan oleh organisasi-organisasi konsumen di seluruh Indonesia. Dia menyatakan, YLKI dan 255 lembaga konsumen di berbagai negara yang benaung di bawah gConsumers International yang berbasis di London, Inggris, kini memfokuskan perhatiannya pada perlindungan konsumen di era digital.
Dia menilai, isu ini menjadi persoalan serius di negara berkembang yang belum memiliki regulasi terkait hal ini. Sementara negara maju lainnya seperti Uni Eropa telah menerapkan Regulasi Perlindungan Data atau General Data Protection Law (GDPR) yang mengatur sanksi kepada perusahaan teknologi yang terbukti menyalahgunakan data pribadi konsumen.
Meski demikian, Tulus juga menghimbau kepada konsumen di Tanah Air agar selalu membaca syarat dan ketentuan setiap kali menggunakan platform online. Dia menilai tak jarang konsumen malas membaca syarat dan ketentuan, padahal informasi tersebut salah satunya mencantumkan penggunaan data konsumen.
“Konsumen juga harus membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, apakah data pribadi itu boleh untuk keperluan promosi atau tidak. Kalau memang pasal itu diceklis oleh konsumen berarti [perusahaan] tidak salah [mengirimkan promosi], tetapi hanya konsumennya yang tidak terinfo dengan baik,” ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan pihaknya telah menandatangani surat permintaan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi ke Sekretariat Negara (Setneg). Selanjutnya, pemerintah akan mengirim Surat Presiden kepada DPR agar RUU ini dapat segera dibahas.
“Pada era digital ini yang namanya data akan dipertukarkan, baik data pribadi dan nonpribadi. Saya sudah tanda tangan ke Setneg mengenai RUU Perlindungan Data Pribadi,” ujarnya.
Dia mengakui Indonesia termasuk terlambat menyiapkan regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Dia membandingkan dengan regulasi negara lain seperti Uni Eropa yang hanya memperbolehkan pelaku platform dagang-el melakukan transaksi lintas batas dengan negara yang telah memiliki regulasi mengenai data pribadi.
Dalam pertemuan dengan sesama menteri negara G20 mengenai perdagangan dan ekonomi digital di Jepang beberapa waktu lalu, ujarnya, para menteri komunikasi dan informatika antar negara tidak lagi hanya membahas mengenai perkembangan keamanan siber dan kecerdasan buatan, tetapi sudah membahas mengenai transaksi lintas batas (cross border transaction), yang mencakup pertukaran data atau Data Free Flow with Trust (DFFT).