Bisnis.com, JAKARTA -- Perusahaan teknologi menilai keputusan Singapura untuk meloloskan UU anti berita bohong dapat menghambat inovasi di negara kota tersebut.
Dilansir dari Reuters, Kamis (9/5/2019), Google mengatakan beleid itu justru dapat mengganggu upaya Singapura yang ingin menjadi pusat inovasi digital di kawasan Asia Tenggara.
"Kami tetap khawatir UU ini bisa melukai inovasi dan pertumbuhan ekosistem informasi digital," papar perusahaan yang berbasis di California, AS itu.
Google melanjutkan implementasi aturan tersebut menjadi sangat penting dan mereka berkomitmen untuk bekerja bersama para pembuat kebijakan dalam proses itu.
Sementara itu, Facebook mengaku khawatir regulasi ini digunakan untuk kepentingan penguasa.
"Kami tetap memperhatikan aspek-aspek tertentu di aturan tersebut yang memberikan kekuasaan luas kepada eksekutif Singapura untuk mendorong kami menghapus konten yang mereka pandang salah dan menyebarluaskan pengumuman pemerintah kepada para pengguna," tutur Vice President of Public Policy Facebook Asia-Pacific Simon Milner.
Perusahaan yang dipimpin oleh Mark Zuckerberg itu berharap UU itu diimplementasikan dengan pendekatan yang proporsional dan matang.
Beleid bernama UU Kebohongan Online dan Manipulasi (Online Falsehood and Manipulation Bill) ini diloloskan oleh Parlemen Singapura pada Rabu (8/5). Berdasarkan UU tersebut, platform media online harus mengoreksi atau menghapus konten yang dipandang salah oleh pemerintah.
Ada sanksi yang mencakup penalti hingga 1 juta dolar Singapura, setara dengan Rp10,51 miliar [kurs Bank Indonesia Rp10.515 per dolar Singapura], atau hukuman penjara sampai 10 tahun bagi mereka yang melanggar.
Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam meyakinkan publik bahwa regulasi baru ini tidak perlu ditakuti karena kebebasan berpendapat masyarakat tidak akan terpengaruh.
"Jalannya masyarakat yang demokratis bergantung kepada anggota masyarakat tersebut yang mendapatkan informasi yang benar, bukan yang keliru," ucapnya.
Singapura berada di posisi 151 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia dari Reportes Without Borders. Peringkat tersebut di bawah Rusia dan Myanmar.