Bisnis.com, JAKARTA — JAKARTA – Konsorsium PSN berpeluang meraup Rp1,38 triliun setiap tahun dari proyek satelit multifungsi (SMF) yang diberi nama Satelit Republik Indonesia atau Satria.
Perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium PSN telah membentuk badan usaha yang fokus dalam membuat, mengembangkan dan mengoperasikan Satria. Badan tersebut bernama PT Satelit Nusantara Tiga yang dinahkodai oleh Adi Rahman Adiwoso yang juga merangkap sebagai Direktur Utama PT Pasifik Satelit Nusantara.
Adi mengatakan setelah badan usaha terbentuk pihaknya akan fokus dalam mencari pendanaan terlebih dahulu. Badan usaha ini hanya memiliki waktu 6 bulan untuk mencari pendanaan yang dibutuhkan untuk pengadaan satelit multifungsi.
Baca Juga Sinyal di Tol Trans Sumatra Masih Payah |
---|
“Setelah dapat dana kami bangun satelit, buat kontrak dengan pembuat satelit dan roketnya, insyaallah diluncurkan pada akhir 2022 dan beroperasi selama 15 tahun, setelah itu kami serahkan seluruh kapasitas ke pemerintah,” kata Adi kepada Bisnis, Jumat (3/5/2019).
Adi menjelaskan pendanaan sudah mulai dijajaki saat ini dengan bank dari Prancis dan multilateral. Adapun dari bank lokal, sambungnya, PT Satelit Nusantara Tiga masih mencari perusahaan yang bersedia untuk membantu pendanaan.
PT Satelit Nusantara Tiga membutuhkan dana senilai US$450 juta—US$500 juta untuk membuat satelit high throughput satellites (HTS) atau setara dengan Rp6,4 triliun.
Setelah satelit beroperasi pemerintah akan membayar kepada PT Satelit Nusantara Tiga senilai Rp1,38 triliun per tahun selama 15 tahun. Adapun, total nilai proyek satelit multifungsi mencapai Rp 20,7 triliun.
Direktur Utama Bakti Anang Latif mengatakan Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha mewajibakan badan usaha itu menyediakan biaya belanja modal di awal. Lewat service level agreement (SLA), pemerintah akan membayar selama 15 tahun kepada konsorsium sesuai dengan layanan sinyal yang diberikan yaitu 150 Gbps.
Artinya, jika layanan yang diberikan dibawah 150 Gbps, pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah di bawah Rp1,38 triliun.
“Ukurannya satelit ini adalah kelayakan sinyal untuk dioperasikan itu proposional, ketika sinyal berkurang maka berkurang juga pembayarannya,” kata Anang kepada Bisnis.
Anang menjelaskan biaya yang dibayarkan pemerintah ke konsorsium sudah termasuk dengan biaya penjaminan, asuransi, operasional dan lain-lain.
“Penjaminan untuk menjamin kalau pemerintah wanprestasi atau tidak membayar, misalnya kehabisan duit, maka PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) melakukan dana talangan baru tahun berikutnya, mereka akan memberikan tagihan ke kominfo,” kata Anang.
Mengenai pendanaan pembuatan satelit yang sebagian besar dicari dari Perancis, Anang menduga hal tersebut untuk mempermudah dan mempercepat proses pembuatan satelit.
Dia mengatakan bahwa umumnya, jika satelit dibuat di Prancis, pendanaannya pun dicarikan dari negara tersebut.
“Karena satelitnya dari Prancis, maka akan jauh lebih mudah dari Perancis juga, karena kalau dari Amerika harus konversi ke dolar dulu. Pendanaan dalam negeri paling sekitar 10%, sisanya sebanyak 90% dari luar negeri, bank lokal kira-kira jumlah pendanaan yang dibutuhkan sekitar Rp500 miliar. Dari luar negeri sekitar Rp6 triliunan,” kata Anang.