Modal dan Kendali Asing di Unicorn Indonesia

Demis Rizky Gosta
Rabu, 27 Februari 2019 | 15:21 WIB
Mitra pengemudi Go-Jek menunggu acara konferensi pers program #CariPahala di Jakarta, Senin (21/5/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Mitra pengemudi Go-Jek menunggu acara konferensi pers program #CariPahala di Jakarta, Senin (21/5/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Mau tahu rahasia? Pendiri perusahaan rintisan takut dengan korporasi. Dibalik rasa percaya diri dan ambisi para founder dan ratusan pekerja dari generasi milenial yang berkerja di startup yang sekarang membawa kartu nama vice president di kantongnya, pasti ada rasa waswas menghadapi perusahaan “tradisional” yang bisnisnya mereka ganggu.

Logikanya sederhana. Nadiem, William, Ferry, dan Zaky memulai bisnisnya dengan modal seadanya. Biasanya sebatas berbekal ide dan jaringan rekan.

Namun, justru karena mereka kecil, mereka unggul. Tidak ada yang mengganggu mereka saat mencoba membangun bisnis dari nol. Karena orang lain menganggap ide mereka hanya mimpi, tidak ada yang menganggap mereka serius. Termasuk, para petinggi yang memuncaki tangga korporasi raksasa.

Bayangkan apa yang terjadi jika perusahaan taksi sudah serius berhadapan dengan Gojek sejak Nadiem mengoperasikan call-center ojek atau bagaimana nasib Traveloka jika biro wisata besar yang sudah melantai di bursa mengucurkan dana besar-besaran membangun kanal daring.

Bagaimana keadaannya sekarang jika pemilik jaringan mal dan minimarket membuat situs web sebulan setelah Zaky mendirikan Bukalapak atau sekitar setahun setelah pedagang di Tokopedia mulai ramai?

Dengan kekuatan jaringan dan modal masing-masing, setiap korporasi yang diganggu bisa dengan mudah mengakhiri mimpi mereka pada tengah jalan.

Empat pendiri yang sekarang memimpin perusahaan bernilai miliaran dolar Amerika Serikat tersebut bisa tumbuh secepat sekarang, salah satunya, karena dipandang sebelah mata.

Untungnya bagi mereka, sebelah mata lain masih memandang mereka. Pemilik sebelah mata yang lain adalah ratusan pemodal ventura yang berkeliaran berkeliling dunia mencari target. Bukan untuk dimangsa, melainkan untuk didukung.

Para kapitalis ini tentunya bukan amatiran. Mereka tidak melanglang buana membawa kantong uang dan memberikannya kepada siapapun yang merasa butuh seperti Helmi Yahya. Mereka adalah investor yang berpengalaman puluhan tahun mendampingi para pengusaha pemula di Silicon Valley, Shenzhen, dan Tokyo menjelma menjadi industrialis dunia maya.

Ekonomi modal ventura dan startup, mungkin saat ini lebih akrab di telinga pelaku ekonomi di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Namun, tidak sekitar 10 tahun lalu saat generasi pertama startup bermunculan.

Bagi yang belum akrab dan bertanya-tanya, polanya sebetulnya sederhana. Pendiri memulai perusahaan. Investor menyokong mereka dengan pendanaan dengan peluang keberhasilan 50-50. Perusahaan yang mereka danai bisa tumbuh atau bangkrut.

Kini bayangkan ada puluhan perusahaan rintisan. Peluang keberhasilannya semakin kecil. Makin kecil tentunya jika ada ratusan atau bahkan ribuan perusahaan rintisan. Biasanya atau bahasa kerennya rule of thumb yang berlaku, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara hanya sekitar 3% dari perusahaan rintisan yang bisa bertahan dan terus tumbuh. Perusahaan yang berhasil melampaui valuasi US$1 miliar, jauh lebih sedikit. Investasi yang sangat buruk enggak sih?

Agar bisa cuan, para pemodal ventura seperti layaknya investor berpengalaman lainnya, mendistribusikan risiko. Danai sebanyak mungkin perusahaan rintisan supaya peluang makin banyak, berinvestasi pada tahap yang paling awal supaya hemat.

Ini artinya setiap pemodal ventura harus menangani puluhan hingga ratusan entreupreuner secara bersamaan. Tidak mungkin, sebanyak apapun sumber daya manusia yang dimiliki si pemodal, perusahaan-perusahaan tersebut bisa mereka micro-managed. Artinya, para kapitalis berkantong tebal tersebut sangat bergantung kepada para pendiri.

Ini mungkin salah satu alasan, mereka terima saja saat para pendiri perusahaan rintisan mau menerima jutaan dolar AS tanpa menyerahkan mereka kendali. Iya, investasi di startup, sebesar apapun modal yang ditumpahkan tidak berarti penguasaan.

Kuncinya ada pada sistem dwi-kepemilikan atau dual-share. Perusahaan rintisan, terutama di bidang teknologi, biasanya menerbitkan paling sedikit dua lapis saham. Contoh paling ekstrem dan paling terkenal dalam penerapan pola ini adalah Mark Zuckerberg dan Facebook.

Zucks dan beberapa orang lain yang terlibat dalam pendirian Facebook sejak awal, secara total, hanya memiliki sekitar 18% dari saham Facebook yang kini diperdagangkan di bursa. Namun, Facebook memiliki dua jenis saham yaitu saham kelas A dan saham kelas B.

Saham kelas A adalah saham yang diperjualbelikan secara publik. Setiap lembar saham setara dengan 1 suara di rapat umum pemegang saham. Saham kelas B, yang dimiliki oleh beberapa “orang dalam” di Facebook, setara dengan 10 suara.

Alhasil, Zuckerberg dan kawan-kawan mengendalikan 70% dari hak suara di Facebook. Zuckerberg sendiri punya 60% hak suara. Ini alasannya, apa saja yang terucap dari mulut Zuckerberg bisa membuat pasar meriang.

Pola ini juga lazim diterapkan oleh pendiri perusahaan rintisan di Indonesia, meskipun tidak seekstrem Facebook.

Baru-baru ini, Gojek mengumumkan fase pertama dari pendanaan seri F. Pendanaan yang diperkirakan telah mendorong valuasi perusahaan tersebut menembus US$10 miliar. Dengan modal sebesar itu, kendali Gojek tidak berpindah ke luar Jakarta, atau lebih spesifk ke luar Blok M.

“Para pendiri dan manajemen Gojek tetap memiliki kendali terhadap pengambilan keputusan dan penentuan arah kebijakan perusahaan agar dapat meralisasikan visi jangka panjang perusahaan,” kata CEO Gojek Nadiem Makarin kepada Bisnis, Selasa (19/2).

Hal serupa diungkapkan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. Setelah pendanaan yang diperkirakan mengangkat valuasi Tokopedia melewati US$7 miliar pada Desember lalu, kendali Tokopedia tidak berpindah ke Hangzhou, markas besar Alibaba Group.

“Saya bisa konfirmasi bahwa Tokopedia memang memiliki banyak pemegang saham, tapi tidak ada satu pun investor yang memegang kendali penuh. Kendali penuh tetap berada di manajemen perusahaan,” kata William beberapa waktu lalu.

Namun, tentunya tak dapat disangkal bahwa gelombang modal yang masuk ke para unicorn mengikis porsi saham para pendiri. Mereka punya alasan sendiri kenapa rela kepemilikannya, bukan kendalinya, terdilusi setahun sekali.

Nadiem dan William punya visi dan ambisi. Bagi mereka, curahan modal yang mengalir deras dari luar negeri ke Indonesia justru sebuah sinyal positif. Pemodal dari luar negeri juga tidak hanya berharga karena modal yang mereka bawa. Mereka juga membawa pengalaman dan pengetahuan dari seluruh dunia.

Salah satu cerita paling menarik antara Nadiem dan investornya adalah soal Go-Food. Saat Sequoia, salah satu investor awal Gojek menyarankan Nadiem mengadopsi bisnis pesan antar makanan, Nadiem menolak keras. Butuh pertemuan kedua dan ketiga hingga akhirnya Nadiem mau mencoba mengoperasikan Go-Food. Kini, Go-Food adalah salah satu mesin utama Gojek.

“Guna mendukung pertumbuhan dan inovasi perusahaan teknologi skala besar seperti Gojek, dibutuhkan investasi yang signifikan sekaligus investor yang memahami bisnis teknologi dan bisa memberikan transfer pengetahuan mengenai best practices dalam industri digital,” kata Nadiem.

Lalu apa hasilnya buat Indonesia?

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan bahwa unicorn adalah magnet investasi langsung dari luar negeri atau foreign direct investment (FDI).

"Hitungannya ini menjadi FDI. Kalau unicorn kita yang sahamnya sebagian dimiliki asing, di dalam balance of payment menjadi FDI," ungkap Bambang.

Berbeda dengan investasi di pasar finansial, uang yang masuk dari luar negeri sebagai FDI menjelma menjadi aset. Istilahnya, pabrik punya asing tidak bisa dibawa pulang ke negara asal sang pemodal.

Namun, ada lagi. Modal yang mengucur deras digunakan oleh para perusahaan rintisan untuk mendorong Indonesia melompat.

Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan saat ini iklim bisnis dan memulai usaha di Indonesia berubah total. Dampak paling besar bukan hanya dirasakan oleh pengusaha digital, melainkan oleh mereka yang memulai usaha di luar dunia maya.

Sepuluh tahun lalu tidak terbayangkan bisnis kecil berdagang kue atau pakaian bisa menjangkau pasar satu kota besar seperti Jakarta, bahkan lintas kota lain di Indonesia.

Banyak kendala. Bagaimana mungkin bisa memasarkan ke khalayak ramai? Jika sudah ada yang tertarik dengan iklan, bagaimana cara mereka membayar? Jika sudah bisa membayar, bagaimana cara mengantarkannya?

Semua kendala tersebut kini bukan lagi jadi masalah karena para unicorn telah menyediakan infrastruktur. Jalannya telah ada, kini tinggal bagaimana para penduduk di pinggir jalan memanfaatkannya.

Indonesia tidak usah lagi tergantung kepada iklan di Google, menanti bank berinvestasi besar untuk go-digital,atau menunggu perusahaan logistik membangun jaringan teknologi. Para startup sudah memaksa mereka buru-buru berbenah.

Pertanyaannya kini selayaknya dilontarkan kepada pemilik modal besar di dalam negeri. Beranikah bertarung berebut saham di startup-startup asli Indonesia?

Beberapa konglomerat sudah memulai seperti Grup Djarum, Sinarmas, dan Emtek. Bukan rahasia juga jika keluarga konglomerat aktif memarkir dana di modal ventura dalam dan luar negeri. Mereka sudah berdiversifikasi, mulai berinvestasi di teknologi. Tidak lagi berkutat di kebun dan tambang.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper