Bisnis.com, JAKARTA -- Pembahasan tentang poin ketentuan kewajiban pembangunan pusat data di dalam negeri bagi pelaku usaha bank masih alot.
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan II Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy mengatakan pihaknya masih melakukan pembahasan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Salah satu pembahasan yang masih berjalan yakni tentang ketentuan pembangunan pusat data di dalam negeri untuk sektor usaha tertentu.
Sektor perbankan juga masuk dalam poin pembahasan yang belum usai. Dorongan untuk mengamankan data perbankan di dalam negeri, tuturnya, dihadapkan pada bank asing yang kemungkinan sulit mengikuti ketentuan tersebut.
"Itu juga termasuk yang masih akan dibahas," ungkap Yunan kepada Bisnis, Rabu (29/8/2018).
Menurutnya, sebenarnya sudah ada rencana untuk melakukan rapat pleno untuk menyelesaikan tahap harmonisasi pada Selasa (28/8). Namun, masih terdapat poin-poin yang memerlukan waktu untuk bisa disepakati.
Oleh karena itu, kemungkinan masih ada sekali rapat lagi yang menjadi kesempatan final revisi PP 82/2012.
Adapun Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan tak merespons pertanyaan Bisnis saat dihubungi Kamis (30/8).
Tetapi, beberapa waktu lalu, dia menyebutkan beberapa klausul yang direvisi dalam PP tersebut adalah klasifikasi data dan aturan penyimpanan data.
Sebagai contoh, Semmy menerangkan aturan lama mengatur agar seluruh data harus disimpan dalam peladen (server) yang ada di dalam wilayah Republik Indonesia. Hal tersebut direvisi menjadi beberapa opsi sesuai dengan klasifikasi data yang terkait.
Klasifikasi data berdasarkan draf revisi adalah data berisiko rendah, data berisiko tinggi, dan data strategis. Data berisiko rendah dapat disimpan di komputasi awan mana saja, data berisiko tinggi dapat disimpan di komputasi awan dengan syarat salinan datanya harus ada pula di Indonesia, dan data strategis sama sekali tak bisa keluar dari Indonesia.
“Kalau di-cloud itu kan mau [membuat aplikasi] apa-apa bisa lebih cepat, makanya regulasinya kami buat. Kami perluas,” ujarnya.