Tinggi Harga Spektrum Disebut Berpengaruh Negatif pada Kualitas Layanan Opsel

Leo Dwi Jatmiko
Jumat, 26 April 2024 | 15:56 WIB
Teknisi melakukan pemeliharaan perangkat BTS di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (9/2/2023).
Teknisi melakukan pemeliharaan perangkat BTS di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (9/2/2023).
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai lelang spektrum frekuensi yang terlalu mahal disebut berpengaruh pada kualitas layanan yang diberikan operator seluler kepada pengguna. Adapun Kemenkominfo rencananya bakal gelar lelang spektrum 700 MHz tahun ini.

Direktur Spektrum Asia Pasifik GSMA Yishen Chan mengatakan pada era 5G, spektrum frekuensi harus digunakan secara efektif. Pengadaan spektrum baru dengan nilai lelang tinggi dikhawatirkan memberi dampak negatif terhadap keberlanjutan operator seluler. 

Beban regulator mereka akan naik, yang berisiko memangkas kualitas layanan, 

“Tingginya harga spektrum memiliki konsekuensi negatif dalam hal kecepatan, cakupan layanan, harga di masyarakat, dan adopsi,” kata Yishen dalam Asia Pasific Management Conference di Jakarta, dikutip dari YouTube (26/4/2024). 

Sebelumnya, Global System for Mobile Communications Association (GSMA) memperingatkan Indonesia dalam skenario paling buruk, sekitar sepertiga dari manfaat sosioekonomi 5G atau sekitar Rp216 triliun, bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2024—2030 jika harga pita spektrum baru masih mengikuti harga lama. 

Dalam laporan yang berjudul “Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia”, menunjukkan bahwa sejak 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari lima kali lipat di Indonesia. 

Hal ini disebabkan oleh biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan. Sebaliknya, pertumbuhan pendapatan industri asimetris dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler di mana terjadi penurunan sebesar 48% selama periode yang sama (dalam USD). 

Selain itu, biaya spektrum frekuensi yang disesuaikan setiap tahunnya terus meningkat dikarenakan inflasi. 

Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada 12,2%, sementara rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. 

Dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menunjukkan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak. 

Jika tidak, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G.

Kesulitan ini akan berdampak buruk seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi yang menggunakan teknologi 5G terbaru. 

Yishen memberikan beberapa saran kepada regulator agar lelang spektrum memberi manfaat besar bagi negara, di sisi lain tidak membebani operator seluler. 

“Kemenkomninfo dapat menetapkan reserve price dan biaya tahunan yang sederhana dan mengandalkan pasar untuk menetapkan harga. Kemudian, mempertimbangkan mekanisme yang memungkinkan operator menukar biaya spektrum menjadi komitmen investasi,” kata Yishen.  

Yishen juga menyarankan agar pemerintah segera melakukan lisensi spektrum sesegera mungkin, karena hal ini membantu menghiindari kelangkaan spektrum.

“Menerbitkan peta jalan jangka panjang yang memprioritaskan manfaat kesejahteraan masyarakat dibandingkan pendapatan negara,” lanjutnya. 

Sebelumnya, PT XL Axiata Tbk. (EXCL) meminta agar reserve price lelang spektrum frekuensi 700MHz dan 26 GHz dapat terjangkau dari tahun sebelumnya. Perusahaan mempertimbangkan untuk ikut jika reserve price yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. 

Reserve Price atau Harga Dasar Penawaran adalah harga minimum dari setiap blok pita spektrum frekuensi yang menjadi objek lelang yang dapat diterima oleh Negara dan menjadi batasan harga bagi peserta lelang untuk melakukan penawaran harga.

“Affordable, yang lebih terjangkaulah, makin rendah makin baik,” kata Chief Corporate Affairs XL Axiata Marwan O. Baasir saat ditemui di Kantor XL Axiata, Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Untuk diketahui, pada lelang sebelumnya di pita 2,1 GHz, untuk 2x5 MHz (satu blok) bekas pita frekuensi bekas Indosat, Telkomsel selaku pemenang membayar Rp605 miliar. Dengan nilai tersebut, maka diperkirakan harga reserve price tidak jauh berbeda.

Sementara itu, Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini menyatakan bahwa pihaknya siap mengikuti lelang spektrum frekuensi. Operator telekomunikasi bersandi saham EXCL itu juga telah menyiapkan dana untuk aksi lelang ini.

Dian mengatakan kehadiran spektrum baru dibutuhkan karena perusahaan saat ini hanya menggenggam setengah dari spektrum operator pada umumnya.

XL Axiata mengoperasikan 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, total ada 90 MHz, dengan pita frekuensi 1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G. 

Sementara itu, Telkomsel sebagai pemimpin pasar, menggunakan spektrum frekuensi sebesar  72,5 MHz untuk uplink (upload), 72,5 MHz untuk downlink (download), dan 50 MHz untuk 5G NR. Total keseluruhan spektrum yang digunakan adalah 145 MHz+50 MHz.  

Dian menyebut bahwa XL Axiata sangat berharap lelang spektrum frekuensi ini bisa dilaksanakan. Sebab, tambah dia, XL Axiata sangat membutuhkannya dan telah menyiapkan dana untuk pergelaran aksi ini.

“Tetapi tentu saja tergantung nanti harganya, karena kalau misalnya reserved price-nya terlalu tinggi dan ternyata perhitungan tidak mendukung, artinya secara bisnis nggak memungkinkan,” kata Dian.

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper