Bisnis.com, JAKARTA - Komisi I DPR RI akan segera memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan seluruh operator telekomunikasi terkait polemik penurunan biaya interkoneksi.
Menurut Hanafi Rais, Anggota Komisi I DPR, pihaknya akan segera menggelar rapat internal dan kemudian dilanjutkan dengan rapat kerja dan rapat dengar pendapat bersama seluruh stakeholder telekomunikasi.
"Setelah itu kami akan membentuk tim Panja (panitia kerja) untuk interkoneksi dan network sharing. Karena bagi kami ini bukan hanya masalah bisnis saja, tapi kedaulatan negara," ujar Hanafi di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Hanafi menjelaskan, pihaknya merasa berkewajiban untuk ikut mengawal kebijakan tarif ini karena berpotensi merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar.
"Pemerintah tidak bisa membuat regulasi yang memihak. Ini namanya regulatory capture, dan ini tidak sehat bagi industri. Pemerintah akan selamanya disandera oleh operator yang didominasi asing," katanya.
Dalam pertemuan antara para anggota dewan dan Menkominfo Rudiantara bersama para operator, Komisi I akan meminta penjelasan status tarif telekomunikasi, apakah sudah lebih terjangkau dibandingkan negara lain.
"Kemudian, Menkominfo juga akan kami minta untuk menjelaskan modern licensing masing-masing operator," lanjut Hanafi tentang rencana rapat kerja dan dengar pendapat dalam waktu dekat.
Terkait Revisi Peraturan Pemerintah No. 52 dan 53 Tahun 2000, Menkominfo juga akan diminta untuk menjelaskan bagaimana operasional yang terjadi ketika operator melakukan network sharing secara aktif.
"Bukankah ada potensi besar kolusi ketika operator melakukan sharing? Itu sebabnya kami akan meminta penjelasan mengapa Menkominfo tidak melakukan uji publik pada Revisi PP 52 dan 53 seperti layaknya Revisi PP ITE," sesal Hanafi.
Terakhir, Komisi I melalui Panja Interkoneksi dan Network Sharing juga akan mendesak Menkominfo untuk tidak melanjutkan revisi kedua PP ini karena dianggap tidak sesuai good governance.
"DPR akan meminta pemerintah untuk membahas substansi RPP di level UU melalui agenda perubahan UU telekomunikasi. Karena ini menyangkut fungsi legislasi DPR agar tidak bertentangan dengan UU No. 36/1999," ujar Hanafi.
Bisa Batal
Sementara di lain kesempatan, penetapan tarif layanan interkoneksi yang baru sebesar Rp 204 dari sebelumnya Rp 250, dinilai tak sah. Pasalnya, pemerintah dianggap tak transparan dalam mengungkap formula perhitungan biayanya.
Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Kajian Telekomunikasi di ITB mengatakan demikian setelah mengacu pada PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Dalam pasal 23 Ayat 2, perhitungan biaya interkoneksi harus transparan, serta disepakati bersama dan adil. Untuk menentukan tarif, pemerintah memakai formula yang berdasarkan biaya (cost based).
"Dalam hal ini, tanggung jawab pemerintah adalah menyediakan formula perhitungan, verifikasi, dan validasi atas input operator," ujar Ridwan.
Yang terjadi, pemerintah justru menetapkan tarif interkoneksi tanpa kesepakatan bersama antaroperator. Adapun, Telkomsel oposisi terhadap tarif baru ini.
"Jika dibilang pemerintah ingin outputnya (tarif interkoneksi) Rp 200, pemerintah tak bisa menetapkan harga," papar mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.
Seharusnya, pihak operator yang menetapkan sesuai kesepakatan bersama dengan mengacu pada Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI). Pasalnya, setiap operator memiliki coverage jaringan wilayah berbeda-beda.
Selain itu, pemerintah juga diminta berperan dalam memvalidasi data-data operator, seperti pencapaian pembangunan jaringan base transceiver station (BTS), sebagai acuan dalam menetapkan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI).
"Yang sekarang (penetapannya) tak sah karena tidak disepakati bersama. Pemerintah bisa kena sanksi di PTUN (pengadilan tata usaha niaga), dimana aturannya bisa dibatalkan," tegas Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, Ian Joseph Matheus Edward.