Bisnis.com, JAKARTA - Pemadaman teknologi global yang disebabkan oleh CrowdStrike pada Microsoft menyebabkan gangguan besar di seluruh dunia, pada Jumat (18/7/2024).
Para ahli menyebut bahwa gangguan ini menjadi salah satu kegagalan TI terbesar dalam sejarah.
Penyebab gangguan ini berasal dari perusahaan keamanan siber bernama CrowdStrike, yang menyediakan perangkat lunak untuk berbagai industri.
Pembaruan pada salah satu perangkat lunak CrowdStrike, Falcon Sensor, tidak berfungsi dan menyebabkan kerusakan pada komputer yang menjalankan Windows.
Lantas Apa Itu CrowdStrike?
Melansir dari Guardian, CrowdStrike adalah perusahaan keamanan siber asal Amerika yang didirikan pada tahun 2011 dan berbasis di Austin, Texas.
Sejak awal berdiri, perusahaan ini telah berkembang pesat dengan mulai menawarkan serangkaian layanan keamanan menggunakan perangkat lunak berbasis cloud.
Perusahaan ini kemudian mengumpulkan jutaan dana dari pusat-pusat kekuatan di Silicon Valley seperti cabang modal ventura Google.
Pada situs resminya, CrowdStrike menyatakan bahwa mereka melindungi 538 dari 1000 perusahaan Fortune.
Meskipun produk utama perusahaan ditujukan untuk memblokir peretas dan malware, CrowdStrike juga digunakan untuk menyelidiki pelanggaran data besar.
Komite Nasional Demokrat (DNC) pada tahun 2016 menugaskan CrowdStrike untuk menyelidiki peretasan server DNC oleh Rusia, sementara Sony Pictures mempekerjakan perusahaan tersebut untuk menyelidiki serangan siber tahun 2014 yang terkait dengan Korea Utara.
Investigasi CrowdStrike terhadap peretasan DNC juga sebelumnya memainkan peran kecil namun penting dalam pemakzulan pertama Donald Trump dan penyelidikan penasihat khusus terhadap campur tangan Rusia dalam pemilu tahun 2016.
Penyebab CrowdStrike Membuat Sistem Windows Down
Penyebab system Windows down berasal dari pembaruan yang dilakukan CrowdStrike pada platform keamanan siber utamanya, produk perangkat lunak berbasis cloud yang disebut Falcon.
Ketika CrowdStrike mendorong pembaruan pada perangkat lunak Falcon, yang berinteraksi dengan bagian lain dari sistem komputer dan perangkat lunak seperti produk Microsoft Windows, hal ini menyebabkan kegagalan fungsi yang pada dasarnya menonaktifkan sistem tersebut dan perangkat lunak yang banyak digunakan di seluruh dunia.
Adapun prangkat lunak yang dimaksudkan untuk melindungi terhadap kerusakan dan gangguan pada sistem komputer yang penting akhirnya membuat perangkat lunak tersebut tidak berfungsi.
CEO CrowdStrike George Kurtz mengatakan bahwa kegagalan ini bukan karena serangan siber.