Pakar Khawatir soal AI Bubble, Hilal Cuan Belum Terlihat?

Arlina Laras
Sabtu, 6 Juli 2024 | 12:31 WIB
Ilustrasi Artificial intelligence/Alibaba Cloud
Ilustrasi Artificial intelligence/Alibaba Cloud
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini sejumlah perusahaan besar melakukan investasi besar-besaran pada infrastruktur kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sayangnya, banyak perusahaan belum mendulang cuan dari sini.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang signifikan dalam nilai yang diberikan kepada pengguna akhir (end user) alias konsumen dalam ekosistem AI tersebut.

Analis Sequoia Capital David Cahn mengatakan bahwa perusahaan AI harus menghasilkan sekitar US$600 miliar atau Rp9.751.08 triliun per tahun (asumsi kurs Rp16.251 per dolar AS) untuk menutupi biaya infrastruktur mereka, termasuk data center.

Sebagai contoh, Nvidia berhasil memperoleh pendapatan sebesar US$47,5 miliar atau Rp771,96 triliun dari penjualan perangkat keras data center tahun lalu, di mana sebagian besar digunakan untuk GPU komputasi dalam aplikasi AI dan komputasi tingkat tinggi (HPC). 

Perusahaan-perusahaan besar seperti AWS, Google, Meta, Microsoft, dan lainnya juga melakukan investasi besar dalam infrastruktur AI mereka pada tahun 2023, termasuk untuk aplikasi seperti ChatGPT dari OpenAI. 

Namun, apakah artinya perusahaan teknologi akan mendapatkan kembali investasi tersebut? 

David Cahn mengkhawatirkan bahwa investasi besar dalam infrastruktur AI tidak menghasilkan pendapatan yang diharapkan, ini bisa menandakan adanya pertumbuhan gelembung finansial. 

Asumsi Perhitungan

Perhitungan yang digunakan oleh David Cahn relatif sederhana. 

Pertama, dia menggandakan perkiraan pendapatan bulanan ataupun triwulan Nvidia untuk menutupi total biaya pusat data AI (di mana setengahnya untuk GPU; sisanya mencakup energi, bangunan, dan generator cadangan). 

Kemudian, dia menggandakan jumlah tersebut lagi untuk memperhitungkan margin bruto 50% bagi pengguna akhir, seperti startup atau bisnis yang membeli komputasi AI dari perusahaan seperti AWS atau Microsoft Azure, yang juga harus menghasilkan keuntungan.

Saat ini memang penyedia layanan cloud, seperti Microsoft sedang melakukan investasi besar dalam stok GPU. 

Nvidia pun melaporkan bahwa separuh dari pendapatannya dari pusat data berasal dari penyedia cloud besar. Adapun, dengan Microsoft sendiri kemungkinan berkontribusi sekitar 22% dari pendapatan Nvidia pada kuartal IV/2024. 

Dengan diperkenalkannya prosesor B100/B200 yang menawarkan kinerja 2,5 kali lebih baik dengan tambahan hanya 25% lebih tinggi, kemungkinan besar akan mendorong permintaan yang lebih tinggi terhadap GPU Nvidia. 

Akibatnya, ini dapat menciptakan kekurangan pasokan, di mana permintaan melebihi kapasitas produksi yang tersedia pada waktu tertentu. 

Lebih lanjut, OpenAI yang menggunakan infrastruktur Azure milik Microsoft telah mengalami peningkatan pendapatan yang signifikan, dari US$1,6 miliar atau Rp26 triliun pada akhir 2023 menjadi US$3,4 miliar atau Rp55,26 triliun pada 2024. 

Pertumbuhan ini menegaskan posisi dominan OpenAI di pasar, yang jauh melampaui startup lain yang masih berjuang untuk mencapai pendapatan US$100 juta atau Rp1,6 triliun.

Namun, Chan melaporkan meskipun investasi dalam AI terus meningkat, proyeksi pendapatan dari perusahaan-perusahaan teknologi besar belum memenuhi harapan. 

Asumsi bahwa Google, Microsoft, Apple, dan Meta masing-masing menghasilkan US$10 miliar atau Rp162,52 triliun per tahun dari AI. Sementara itu, perusahaan lain seperti Oracle, ByteDance, Alibaba, Tencent, X, dan Tesla masing-masing menghasilkan US$5 miliar atau Rp81,26 miliar

Itu berarti masih ada kesenjangan sebesar US$500 miliar atau sekitar Rp8.125,9 triliun

Faktor Industri AI Sulit Cuan

Kata Chan, terdapat tantangan signifikan terhadap pandangan optimis terkait investasi infrastruktur AI. 

Berbeda dengan infrastruktur fisik, komputasi GPU untuk AI dapat mengalami komoditisasi dengan masuknya pemain baru seperti AMD, Intel, serta prosesor kustom dari Google, Meta, dan Microsoft yang dapat mengakibatkan persaingan harga yang intens. 

“Investasi spekulatif sering kali menghasilkan kerugian besar, dan prosesor baru dengan cepat menurunkan nilai prosesor lama, berbeda dengan nilai yang lebih stabil dari infrastruktur fisik,” kata Chan yang dikutip, Sabtu (6/7/2024)

Meskipun AI memiliki potensi transformatif dan perusahaan seperti Nvidia memainkan peran penting, akan tetapi menurut Chan tantangan ke depannya akan panjang dan berat karena bisnis dan startup masih harus menemukan aplikasi yang menghasilkan uang. 

Cahn meyakini bahwa industri harus menurunkan ekspektasi terhadap keuntungan cepat dari kemajuan AI, lalu mengakui adanya sifat spekulatif dari investasi saat ini dan perlunya inovasi dan penciptaan nilai yang berkelanjutan. 

“Jika tidak dilakukan, gelembung ekonomi senilai ratusan miliar dolar dapat meledak, berpotensi memicu krisis ekonomi global, walaupun ini masih bersifat spekulatif,” tutupnya. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper