Starlink Punya Ratusan Satelit Bayar ISR Cuma Satu, Ini Kata Kemenkominfo

Leo Dwi Jatmiko
Jumat, 7 Juni 2024 | 06:36 WIB
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit Starlink diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit Starlink diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyampaikan perhitungan biaya hak penggunaan frekuensi (BHP) Starlink berdasarkan jenis frekuensi yang digunakan. Hal ini membuat Starlink cukup membayar satu untuk ratusan satelit yang mengorbit di atas Indonesia. 

Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Denny Setiawan  menjelaskan pemerintah memberlakukan kebijakan kepada Starlink seperti yang diterapkan pada pemain satelit lainnya, yang membebankan biaya BHP berdasarkan pada frekuensi yang digunakan bukan jumlah satelit yang di udara. 

Dengan kebijakan tersebut, maka berapa pun satelit yang diterbangkan Starlink ke orbit, biaya frekuensi yang harus dibayarkan akan sama seperti perusahaan satelit lokal yang hanya meluncurkan satu satelit ke orbit. 

"Hanya dikenakan per band frekuensi, seperti izin angkasa.  Memang satelit di mana-mana BHP-nya tidak mahal. Karena sharing dia tidak eksklusif," kata Denny kepada Bisnis, Rabu (5/6/2024). 

Denny menjelaskan biaya frekuensi Starlink lebih murah dibandingkan dengan seluler karena frekuensi yang digunakan Starlink dapat digunakan oleh banyak perusahaan satelit. Berbeda dengan frekuensi seluler yang eksklusif, yang setiap bloknya hanya memiliki penghuninya masing-masing. 

"Kalau seluler hanya satu Frekuensi 1 operator, kalau ini bisa puluhan," kata Denny. 

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Sigit Jatiputro mengatakan perusahaan satelit juga wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi (BHP) frekuensi kepada pemerintah. Peraturan terbaru mengenai BHP frekuensi satelit, baik GSO ataupun NGSO, termuat dalam Peraturan Pemerintah no.43/2023.

Dalam peraturan tersebut BHP satelit dihitung berdasarkan lebar frekuensi uplink dan downlink dikalikan dengan jumlah satelit. Jumlah satelit GEO untuk seluruh layanan hanya satu maka pengalinya satu. Sementara itu satelit LEO milik Elon Musk, jumlahnya mencapai ratusan, satelit. Namun, uniknya jumlah pengalinya juga cuma satu. 

“Saya tidak tahu dasarnya apa, segitu banyak satelit LEO mau ratusan atau ribuan, tetap dihitung satu satelit. Peraturan itu keluar November 2023 padahal kapasitasnya bisa bertambah, sementara itu di GEO tidak bisa bertambah,” kata Sigit. 

Sigit menilai pemerintah perlu mematangkan lagi peraturan tersebut dengan mempertimbangkan basis perhitungan per satelit, per generasi atau per kapasitas. 

Menurutnya dengan hanya menarik BHP dari satu satelit LEO, maka negara kehilangan potensi pendapatan. 

“Itu menurut saya, jika dihitung dengan cara lama maka pendapatan pemerintah besar banget dari SpaceX. Ketika diubah sedikit jadi menyusut banget. Saya tidak tahu kenapa?” kata Sigit. 

Pada 12 Mei 2024, Quility Space melaporkan, satelit internet Starlink milik Elon Musk diperkirakan mengantongi pendapatan hingga US$6,6 miliar atau sekitar Rp105,96 triliun (kurs Rp16.055 per dolar AS) pada 2024 atau naik 80% year on year (YoY). 

SpaceX mengoperasikan 6.300 satelit LEO per April 2024. Satelit yang berada di orbit rendah itu juga diprediksi memiliki aliran kas bebas sekitar US$600 juta atau sekitar Rp9,63 triliun. Menurut laporan Quilty Space, perkiraan yang diterima Starlink pada dasarnya menghasilkan keuntungan bagi SpaceX yang merupakan induk perusahaan Starlink dalam waktu singkat. 

Salah satu pendiri Quilty Space, Chris Quilty menyebut integrasi vertikal SpaceX dalam desain satelit telah memungkinkannya mengurangi biaya peluncuran, melainkan juga dari sisi manufaktur.

Kembali ke Sigit, perbedaan lainnya dari sisi regulasi, menurut Sigit, adalah pembatasan zona. Dahulu zonasinya adalah untuk backhaul atau terbatas untuk base transceiver station (BTS) sehingga tidak menimbulkan dilematis.

Namun, pada pertengahan tahun ini, peraturan landing rights berubah menjadi tanpa batas. 

“Sehingga Starlink bisa seperti internet ritel. Bisa semuanya. Kapan perubahannya terjadi? dan apakah ada perubahan itu? kami di asosiasi tidak tahu. Sosialisasi terhadap landing yang baru itu harusnya ada,” kata Sigit.

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper