Bisnis.com, JAKARTA - Selama hampir 30 tahun, Indonesia terperangkap dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap (MIT). Sejak 1993—2022, meski terdapat peningkatan pendapatan per kapita, tetapi sulit mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan.
Dalam draft RPJPN 2025—2045 disebutkan, ada dua skenario Indonesia keluar dari MIT dalam 20 tahun ke depan, yakni skenario transformatif dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dan keluar MIT pada 2041, dan skenario optimistik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% dan target keluar MIT pada 2038.
Presiden terpilih 2024—2029, Prabowo Subianto, dalam Qatar Economic Forum dua minggu lalu menyampaikan optimismenya mengantarkan Indonesia meraih pertumbuhan ekonomi 8% beberapa tahun ke depan. Sebuah aspirasi yang sejalan dengan skenario optimistik.
Dalam presentasi di Ikatan Alumni UI, Chatib Basri—Menteri Keuangan era Presiden SBY—menegaskan bahwa kedua skenario tersebut memerlukan transformasi ekonomi yang berhasil, di mana salah satu faktor penentu keberhasilannya adalah transformasi digital.
Transformasi digital berawal dari kesiapan membangun akses internet high speed, unlimited dengan harga murah bahkan gratis, sehingga terjangkau masyarakat berdaya beli rendah. Layanan internet cepat, murah dan unlimited adalah kata kunci keberhasilan transformasi digital.
Akses internet secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Ada banyak manfaat internet terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, antara lain: terciptanya peluang usaha dan lapangan pekerjaan di desa secara online, termasuk pekerjaan jarak jauh.
Akses internet juga memperluas aktivitas pembelajaran online, zoom meeting, mengembangkan layanan seperti telehealth, e-commerce, dan birokrasi yang efisien, sehingga meningkatkan kualitas hidup dan aktivitas ekonomi terutama masyarakat berdaya beli rendah.
Riset McKinsey Global Institute (2009), berjudul “The Great Transformer: The Impact of the Internet on Economic Growth and Prosperity” semakin memperkuat argumen bahwa internet sebagai fondasi digitalisasi merupakan salah satu key driver strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi atau PDB suatu negara.
Dalam riset tersebut, di China, India dan Brasil, internet berkontribusi 7% terhadap total pertumbuhan PDB dalam 15 tahun dan meningkat menjadi 11% dalam 5 tahun.
Sedangkan di Turki, Malaysia dan Mexico—di mana penggunaan internet maupun PDB per kapita mereka berada di kisaran menengah pada skala global—internet juga memberikan kontribusi cukup besar terhadap total pertumbuhan PDB meskipun pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan negara-negara maju.
TANTANGAN
Tinggi-rendahnya kontribusi internet terhadap pertumbuhan ekonomi bergantung penetrasi internet dan kualitas internet yang digunakan. Penulis menggarisbawahi bahwa yang dimaksud “internet” dalam artikel ini adalah internet fixed-broadband yang high-speed dan unlimited, untuk membedakan dengan internet seluler.
Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet Indonesia pada 2024 sebesar 79,5%. Sebesar 74,3% pengguna mengakses internet dari telepon seluler, sedangkan 22,4% mengakses dari wifi rumah melalui broadband.
Data itu membuktikan bahwa tingkat penetrasi internet Indonesia termasuk tinggi, tetapi belum berkualitas mengingat akses internet melalui seluler tergolong mahal dan limited.
Dengan sistem “pra-bayar”, pengguna misalnya harus membeli kuota 4GB seharga Rp47.000, kemudian mengisi ulang 2—3 kali dalam sebulan. Pemakaian internet dengan akses seluler, juga tidak maksimal menunjang aktivitas produktif seperti belajar daring dan bekerja dari rumah.
Selain kualitas penetrasi yang rendah, survei APJII (2024) juga menunjukkan hanya 1% pengguna yang membayar lebih dari Rp500.000 per bulan untuk layanan internet. Sedangkan pengguna yang membayar di bawah Rp300.000 per bulan sebanyak 75,2%.
Kehadiran Elon Musk dengan Starlink-nya di Bali, membuka era baru layanan internet satelit orbit rendah. Hendaknya menjadi wake-up call bagi Internet Service Provider (ISP) besar untuk mencari strategic positioning yang baru, mengingat layanan Starlink yang high-speed dengan coverage luas hingga pedalaman, sedangkan tarif dan biaya pasang alatnya masih sangat mahal.
Oleh karena itu, selain soal kualitas penetrasi dan harga internet high-speed yang masih mahal, tantangan digitalisasi Indonesia adalah meningkatkan penetrasi internet berbasis fixed-broadband. Data menunjukkan, penetrasi internet broadband Indonesia baru 15%. Jauh di bawah penetrasi internet fixed-broadband di Malaysia 45%, Singapura 92%, Thailand 59%, dan Filipina 59%.
Baru-baru ini, penulis berkesempatan meninjau lokasi proyek milik perusahaan listed company yang mengelola jaringan serat optik bekerja sama dengan BUMN PT KAI—di mana sepanjang 3.000 km jalur kereta api di Jawa, mereka telah membangun mini data center di setiap 5 km.
Fakta yang menarik adalah mereka dapat memberikan layanan internet fixed-broadband ke rumah-rumah penduduk sepanjang jalur KA dengan harga Rp99.000 per bulan. Penulis secara random berkunjung ke rumah-rumah pelanggan dan menyaksikan sendiri antusiasme mereka.
Fakta lainnya, meski proyek tersebut masih trial dan baru melayani 40.000 pelanggan di wilayah Citayam Bogor, tetapi take-up rate hampir mencapai 5.000 pelanggan per bulan. Sebuah potensi yang luar biasa.
Dapat dibayangkan, sepanjang rel kereta radius 1 km ada 11 juta rumah tangga dan dalam 5 km ada 23 juta rumah tangga yang umumnya berdaya beli rendah. Jika ada 3 pengguna setiap rumah, maka warga yang menikmati internet cepat, unlimited yang murah bahkan gratis mencapai 69 juta orang.
Melihat antusiasme masyarakat dan telah tersedianya layanan internet high-speed dan unlimited dengan harga Rp100.000 per bulan, saatnya pemerintah terutama Kemenkominfo dan BUMN telco besar lainnya all out mengembangkan layanan broadband berkecepatan tinggi, unlimited dan murah bahkan gratis bagi sekolah, UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Telkom dulu pernah menggelar program CSR Internet Goes to School yang memberikan layanan internet gratis bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Sebuah inisiatif yang layak digiatkan kembali termasuk oleh telco-telco besar, tentu dengan teknologi internet broadband yang jauh lebih cepat dan unlimited.
Program “Makan Siang Gratis” atau “Makan Bergizi Gratis” tentu akan berdampak jauh lebih besar lagi dan terasa lengkap jika dapat dilaksanakan bersamaan dengan Program “Internet Cepat, Unlimited dan Murah bahkan Gratis” di sekolah-sekolah. Begitu pula program 2 juta rumah akan memberi nilai berlipat jika di setiap rumah yang dibangun terpasang akses internet broadband unlimited dengan biaya murah.
Jika program internet cepat, murah dan unlimited melalui jaringan broadband dapat terlaksana hingga ke pedesaan dan menjangkau seluas mungkin warga masyarakat berpenghasilan rendah, maka kontribusi internet terhadap total PDB akan makin meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang,
Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam beberapa tahun ke depan, sangat mungkin terwujud dan Indonesia dapat segera keluar dari middle income trap.