Bisnis.com, JAKARTA — Sepekan lebih layanan internet melalui satelit orbit bumi rendah Starlink resmi mengudara di Indonesia. Namun di tengah riuh rendah itu, pemerintah disinyalir memberikan karpet merah untuk Elon Musk agar satelit internet miliknya dapat beroperasi di Indonesia.
Asosiasi pun menyayangkan sikap pemerintah dalam memberikan sertifikasi perizinan uji laik operasi (ULO) yang dinilai begitu cepat tanpa proses yang jelas dan transparan kepada Starlink.
Tak dapat dipungkiri, kondisi ini membuat Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) buka suara karena seakan pemerintah memberikan perilaku khusus untuk Starlink.
“Proses pemberian sertifikasi yang cepat bagi Starlink semakin memicu dugaan adanya perilaku istimewa yang mungkin tidak akan diberikan kepada ISP lokal,” Ketua Umum APJII Muhammad Arif dalam konferensi pers virtual APJII bertajuk ‘Perlakuan Khusus Starlink Buat Siapa dan Untuk Daerah Mana?’, Senin (27/5/2024).
Menurutnya, hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintah telah membuat diskriminatif dan mengabaikan peran serta kontribusi penyedia kayanan internet atau Internet Service Provider (ISP) lokal yang selama ini telah memenuhi standar regulasi yang ketat.
Tak berhenti di sana, polemik lain yang dipertanyakan adalah kantor operasional atau Network Operation Center (NOC) Starlink di Indonesia yang belum tersedia. NOC atau pusat manajemen jaringan merupakan tempat untuk pemantauan dan kontrol jaringan telekomunikasi.
Padahal, menurut Arif, saat suatu ISP melakukan ULO maka seharusnya NOC tersebut sudah tersedia sebagai salah satu syarat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan izin penyelenggaraan kepada ISP.
Permasalahan semakin parah, Arif mengungkapkan bahwa ditemukan perangkat Starlink yang diduga masuk ke pasar melalui jalur ilegal.
APJII menduga perangkat tersebut masuk melalui jalur black market dan tidak melalui proses standarisasi Ditjen SDPPI Kominfo, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), serta menyalahi aturan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait barang impor ilegal.
“Kehadiran perangkat tersebut tanpa melalui proses standarisasi yang tepat dari otoritas terkait menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan dan legalitasnya, serta potensi dampak negatifnya terhadap ekosistem layanan internet di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, APJII juga menyoroti kehadiran Starlink dapat memicu kembalinya RT/RW Net ilegal yang akan menurunkan kewibawaan perizinan di Indonesia. Hal itu seiring dengan izin Starlink untuk melayani pelanggan ritel.
Menurut Arif, dengan pemerintah memperkenalkan Starlink untuk melayani pelanggan ritel dinilai akan mengeliminasi peran ISP lokal.
APJII juga mengingatkan akan potensi ancaman terhadap penyedia layanan seluler lokal dan risiko dominasi asing di daerah pedesaan.
“Kehadiran penyedia layanan internet asing seperti Starlink dapat mengurangi keberagaman layanan dan meningkatkan ketergantungan pada penyedia asing, yang berpotensi mengganggu keberlanjutan dan kemandirian industri ISP lokal di Indonesia,” imbuhnya.
Dari sederet polemik di atas, APJII mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang lisensi dan mempertimbangkan ulang peraturan terkait Starlink. Serta, memperhatikan masukan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Indonesia.
APJII menegaskan bahwa Kemenkominfo harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam membina kesehatan industri telekomunikasi Tanah Air.
Namun, apabila Kemenkominfo tidak bisa mengatur persaingan dan menjaga kesehatan industri, APJII menuntut agar biaya Biaya Hak Penggunaan (BHP) dan Universal Service Obligation (USO) dapat ditinjau ulang atau diberhentikan.
Di samping itu, APJII juga mengingatkan keselamatan dan kesejahteraan industri telekomunikasi Indonesia merupakan tanggung jawab bersama.
“Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menjaga keberlanjutan dan kemandirian sektor telekomunikasi dan kepentingan bersama,” jelasnya.