Bisnis.com, JAKARTA - Satelit orbit rendah (low earth orbit) Starlink milik Elon Musk disebut menjadi salah satu penantang bagi Satelit Merah Putih-2 Telkom (TLKM) dalam memberikan layanan kepada masyarakat Indonesia. Keduanya memiliki produk yang sama yaitu internet.
Lantas, apa perbedaan Starlink dengan High Throughput Satellite (HTS) Telkom mengingat keduanya sama-sama memberikan layanan internet di pasar Indonesia?
Merujuk pada laporan dgtlinfra, Senin (19/2/2024) satelit GEO adalah satelit yang terbang dengan ketinggian 36.000 kilometer di atas permukaan bumi. Karena letaknya yang tinggi, latensi untuk pelayanannya pun tinggi diperkirakan sekitar 700 milidetik. Adapun kelebihannya yaitu cakupan yang luas. Hanya butuh 3 satelit GEO untuk mencakup 99% dunia.
Secara teknologi, satelit GEO telah terbukti dan telah banyak tersedia. Satelit ini memiliki masa usia pakai 15 tahun dengan permintaan data gateway yang sedikit.
Sementara itum satelit LEO adalah satelit yang terbang dengan ketinggian di sekitar 1.000 kilometer. Satelit ini memiliki latensi yang sangat rendah yaitu 15 ms. Namun cakupannya kecil, butuh ribuat satelit untuk mencakup 100% populasi dunia. Masa pakai satelit ini pun hanya setengah dari GEO yaitu 7 tahun.
Dari sisi teknologi, satelit ini terbilang baru dan belum banyak negara yang menggunakan satelit ini. Dua perusahaan terkenal yang mengembangkan satelit LEO adalah OneWeb dan SpaceX dengan Starlinknya.
Dalam perkembangannya, bisnis satelit orbit Bumi rendah (low earth orbit/LEO) SpaceX milik Elon Musk cukup laris di mata dunia, seiring dengan makin tumbuhnya permintaan global terhadap akses konektivitas internet berbasis Starlink.
Menurut laporan dari Mordor Intelligence, SpaceX melalui satelit LEO, Starlink sudah menguasai 64,33% pasar satelit LEO global.
Selain itu, Starlink juga sudah hadir di 53 negara dan memproduksi sekitar 120 satelit setiap bulannya.
Adapun versi terbaru satelit Starlink memiliki berat 260 kilogram dengan ukuran yang hampir sama dengan meja. Dikutip dari Space, Elon Musk pun berambisi menempatkan sekitar 4.000 satelit di LEO.
Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) telah memberikan izin pada SpaceX untuk menerbangkan 12.000 satelit Starlink. Selain itu, Starlink juga telah mengajukan dokumen ke regulator internasional untuk menerbangkan hingga 30.000 pesawat luar angkasa tambahan.
Produksi yang cukup besar ini dikarenakan internet Starlink bekerja dengan mengirimkan informasi melalui ruang hampa, yang bergerak 47% lebih cepat daripada kabel serat optik.
Pada November 2023, lebih dari 4500 satelit Starlink sudah meluncur di udara.
Sekitar 65 satelit di antaranya memiliki massa lebih dari 1000 kg. Sementara untuk satelit ukuran sedang 500-1000 kg ada sekitar 250 satelit, dan sekitar 4000 satelit sisanya merupakan satelit kecil dengan berat kurang dari 500 kg.
Menurut laporan yang sama, pangsa pasar dari satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) selama periode 2023-2029 diprediksi mencapai US$284,39 miliar atau sekitar Rp4.463 triliun dengan pertumbuhan tahunan (CAGR) hingga 10,35%.
Adapun satelit GEO, juga memiliki pasar yang besar dan tidak dapat dianggap remeh. Terlebih teknologi satelit ini telah terbukti berhasil dan aman.
ABI Research memperkirakan pasar satelit Asia yang khusus melayani sektor komunikasi diprediksi akan bernilai US$2,1 miliar atau sekitar Rp32,63 triliun pada 2028.
Adapun pada saat itu, satelit diprediksi sudah digunakan lebih dari 1,8 juta pelanggan atau meningkat 20% dari 2023.
Sementara itu, laporan Global Economy Space menyebutkan bahwa dari US$348 miliar pasar satelit di dunia, sebesar US$113 miliar disumbangkan dari penyedia layanan satelit seperti Telkom.
Adapun perinciannya, pasar konsumer sebesar US$92,7 miliar, pasar korporasi sebesar US$17,7 miliar dan area remote sebesar US$2,9 miliar.