Bisnis.com, JAKARTA - Harga layanan dan kehadiran satelit orbit rendah (LEO) Starlink milik Elon Musk disebut menjadi tantangan bagi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dalam meraup cuan di industri satelit.
Telkom bakal meluncurkan Satelit Merah Putih-2 berteknologi High Throughput Satellite (HTS) besok, Selasa (20/2/2024) di Florida, Amerika Serikat.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan kebutuhan Indonesia terhadap layanan satelit internet masih tinggi. Satelit Merah Putih-2 berpeluang untuk mengisi kebutuhan tersebut, mengingat Merah Putih2 adalah satelit Geostasioner yang memiliki cakupan jauh lebih luas dibandingkan dengan Starlink.
Namun, lanjut Heru, bukan berarti Merah Putih-2 tidak memiliki tantangan. Mereka harus dapat memberikan layanan satelit yang terjangkau, agar masyarakat tidak beralih ke Starlink sebagai satelit orbit dengan rendah dengan latensi cepat.
“Harus dinamis dan mengikuti tarif yang ditawarkan penyedia lain karena pasar Indonesia akan sensitif pricing, yang harganya lebih murah yang akan dipilih,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (19/2/2024).
Heru berpendapat seharusnya satelit LEO Starlink dan satelit GEO Merah Putih-2 saling melengkapi, sehingga akses internet menyebar lebih merata dan tidak saling berebut di pasar yang sama.
Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah perlu terlibat dengan menciptakan peta pertarungan yang sama, kesetaraan aturan dan kewajiban.
“Harus ada keberpihakan bagi pemain lokal dibanding asing dan regulator bisa mengatur misal Starlink hanya bisa di pasar korporat atau bagaimana,” kata Heru.
Sekadar informasi, Satelit GEO adalah satelit yang terbang dengan ketinggian di atas 36.000 kilometer di atas permukaan bumi. Karena letaknya yang tinggi, latensi untuk pelayanannya pun tinggi diperkirakan sekitar 700 milidetik. Adapun kelebihannya yaitu cakupan yang luas. Hanya butuh 3 satelit GEO untuk mencakup 99% dunia.
Secara teknologi, satelit GEO telah terbukti dan telah banyak tersedia. Satelit ini memiliki masa usia pakai 15 tahun dengan permintaan data gateway yang sedikit.
Sementara itu satelit LEO adalah satelit yang terbang dengan ketinggian di sekitar 1.000 kilometer. Satelit ini memiliki latensi yang sangat rendah yaitu 15 ms. Namun cakupannya kecil, butuh ribuat satelit untuk mencakup 100% populasi dunia. Masa pakai satelit ini pun hanya setengah dari GEO yaitu 7 tahun.
Direktur Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) Ririek Adriansyah mengatakan satelit ke-11 perusahaan Merah Putih-2 bakal diluncurkan pada 20 Februari 2024 dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan roket Falcon 9.
Satelit dengan teknologi High Throughput Satellite (HTS) akan menempati slot orbit 113 derajat Bujur Timur (113 BT).
“Dengan kapasitas hingga 32Gbps, Satelit Merah Putih-2 membawa transponder aktif yang terdiri dari frekuensi C-band dan Ku-band, yang akan menjangkau seluruh area Indonesia.,” kata Ririek dikutip, Minggu (18/2/2024).
Dia menjelaskan bagi masyarakat satelit HTS ini dapat membantu menambah cakupan akses internet karena satelit ini memang didesain khusus untuk broadband meskipun kapasitas tidak sangat besar karena disesuaikan dengan ketersediaan bandwidth spektrum yang ada.
“Bagi Telkom dan Telkomsat maka diharapkan ini menjadi salah satu sumber pertumbuhan usaha yang baru melengkapi satelit yang sudah ada. Untuk Telkomsat ini juga merupakan satelit broadband pertama mereka,” kata Ririek.
Direktur Utama Telkomsat Lukman Hakim Abd. Rauf mengatakan bahwa Satelit Merah Putih-2 mengandalkan platform Spacebus 4000B2 dengan usia desain 15 tahun.
Pembangunannya sendiri melibatkan Thales Alenia Space yang bertanggung jawab dalam hal pabrikasi pembuatan satelit dan SpaceX sebagai perusahaan penyedia jasa peluncuran satelit.
Kedua perusahaan tersebut merupakan pemain besar di sektornya dan sudah berpengalaman dengan proyek satelit Telkom sebelumnya.
“Proses pemilihan mitra dan pengadaan satelit tersebut telah dilakukan sesuai dengan asas kepatuhan (compliance) dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu dari aspek bisnis, proses pemilihan mitra juga telah mempertimbangkan biaya per Gbps yang paling rendah sehingga menghasilkan satelit dengan kapasitas lebih besar dengan harga jual yang kompetitif,” tambah Lukman.