Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Internet of Things (IoT) Indonesia optimistis penggelaran jaringan 5G masih bisa masif di Indonesia. Penggelaran 5G di India yan lambat dipercaya tidak akan terjadi di Indonesia.
Ketua Asioti Teguh Prasetya mengatakan hal ini dikarenakan use case 5G di Indonesia masih cukup banyak, seperti untuk jaringan fixed wireless access, densifikasi perkotaan, dan private network.
Private network atau jaringan pribadi adalah jaringan komputer yang menggunakan ruang alamat pribadi dari alamat IP. Jaringan ini biasanya didedikasikan khusus untuk pelanggan korporasi, pemerintahan dan lain sebagainya, sehingga harganya lebih eksklusif.
Sementara itu Fixed Wireless Acces adalah jaringan internet tetap nirkabel. Biasanya jaringan internet tetap, seperti internet rumah, membutuhkan serat optik untuk melayani pelanggan di rumah. Dengan 5G, hal tersebut tidak dibutuhkan.
Teguh mengatakan di India use case 5G hanya untuk mobile broadband. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Selain itu, kegagalan India dipercaya juga disebabkan oleh masalah perang harga antaroperator yang belum terselesaikan.
“Mungkin karena perang harga di sana tidak kunjung selesai, jadi saling membunuh (antar operator) apapun teknologinya,”ujar Teguh kepada Bisnis, Senin (29/1/2024).
Sebagai informasi, operator seluler India mulai memangkas CAPEX penggelaran 5G seiring dengan return on investment yang tidak menjanjikan.
Dua operator India, yakni Jio dan Bh Airtel bahkan menjual layanan 5G mereka seharga 4G seiring dengan kemampuan daya beli masyarakat yang terbatas dan kasus pemanfaatan yang rendah. Padahal, jaringan 5G ini akan sangat bermanfaat untuk penggunaan IoT.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan hal yang terjadi di India merupakan sebuah kasus khusus, karena beberapa negara malah cenderung menunjukan tren sebaliknya setelah menggelar 5G dan bertambah tinggi setelah 3 tahun.
Teguh mengutip Statista, Jepang mengalami kenaikan ARPU hingga 8% dari tiga tahun sebelum peluncuran 5G dan meningkat 7% setelah 3 tahun menggelar 5G.
Lalu China, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan yang juga merasakan tren serupa.
Diketahui, Korea Selatan bahkan mengalami kenaikan ARPU sebanyak 18% pada tiga tahun sebelum peluncuran 5G dan tahun pertama peluncuran.
“Bahkan di Filipina juga tren-nya menaikkan ARPU,” ujar Teguh.
Namun, Teguh mengaku jika memang penggelaran jaringan 5G di Indonesia masih terbatas di beberapa spot tertentu saja. Alasannya, Teguh mengatakan pita frekuensi yang cocok untuk 5G yakni 700 MHz dan 2,1 MHz masih belum dilelang oleh pemerintah.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemenkominfo Ismail mengakui laju implementasi 5G tidak secepat saat 4G.
Menurut Ismail, salah satu alasannya adalah infrastruktur yang belum modern, seperti infrastruktur serat optik.
Selain itu, Ismail juga menyatakan perangkat lunak dan perangkat keras yang dibutuhkan atau yang menggunakan 5G masih memiliki banyak isu. Mulai dari harga yang masih mahal dan ketersediaannya yang masih sedikit.
Di sisi lain, sebenarnya beberapa operator Indonesia juga masih cukup hati-hati dalam penggelaran 5G, seperti Indosat yang hanya menyasar beberapa titik ramai dan private network, XL dan Smartfren yang masih hanya menyasar sejumlah titik.