Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2024 baru berlangsung dua minggu, tetapi rentetan kabar penutupan bisnis dan PHK sudah terdengar di dalam negeri dan global, dengn total karyawan yang terkena dampak reorganisasi mencapai lebih dari 7.500 karyawan.
Dibuka dengan tutupnya startup pendidikan Zenius, PHK dari e-commerce Lazada, layanan streaming Twitch dari Amazon, perusahaan investasi Blackrock, dan startup edukasi Duolingo.
Kemudian, adapula efisiensi karyawan yang dilakukan startup fintech Flip, Instagram, Universal Music Group, medsos Discord, Amazon, pengembang game Unity, dan tim AR dari Google.
Secara total menurut situs Layoff.fyi, perusahaan-perusahaan teknologi di seluruh dunia telah memecat lebih dari 7.500 karyawan sepanjang Januari 2024.
Alasan tutup dan efisiensi inipun sebenarnya bermacam-macam, mulai dari menghilangkan posisi middle management, kondisi ekonomi global yang tidak menentu, hingga perampingan bisnis.
Namun, setelah ditelusuri lagi, sebenarnya semua alasan ini mengerucut pada satu alasan yang pasti, efisiensi bisnis karena pendanaan yang makin seret. Sebagaimana diketahu, tahun 2023 lalu menjadi tahun yang sulit bagi perusahaan rintisan untuk mendapatkan pendanaan jumbo.
Konsultan dan penasihat ahli dari Komunitas AC Ventures Harumi Supit mengatakan hal ini dikarenakan banyaknya investor belum berani memutuskan untuk memberikan pendanaan pada kondisi global seperti sekarang ini.
Hal inipun menghasilkan sebuah pertanyaan, akankah kabar buruk ini berlangsung sepanjang 2024?
Venture Builder & Investment Partner GDP Venture Antonny Liem mengaku belum dapat memprediksi kondisi investasi untuk 2024. Hal ini tak terlepas dari kondisi geopolitik global dan pemilu berbagai negara, termasuk Indonesia yang masih belum dapat diprediksi.
Kemudian, lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) justru menilai perusahaan rintisan (startup) akan makin sulit meraih pendanaan tahun ini. Masih dengan alasan yang sama, yakni kondisi geopolitik global yang belum kunjung stabil.
Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan hal inilah yang kemudian akan menjadi faktor pengurang ekspektasi besaran ekonomi digital di 2025.
Diketahui, selama 3 laporan terakhir oleh Google, Temasek, dan Bain, menunjukkan penurunan proyeksi ekonomi digital Indonesia di tahun 2025. Mulai dari US$146 miliar di laporan 2021, menyusut menjadi US$109 miliar di laporan 2023.
Menurut Huda, pada 2025, angka proyeksi ekonomi digital Indonesia bisa mentok di angka US$100 miliar.
Dampak AI
Senada, melansir dari Reuters, banyak analis dan pengamat global yang juga pesimis pada kondisi pendanaan dan perusahaan di 2024, tetapi dengan alasan yang berbeda.
Pada 2024 efisiensi karyawan dikarenakan perusahaan akan berlomba-lomba dalam mengejar persaingan dengan AI.
Diketahui, dari survei terhadap lebih dari 4.700 CEO di seluruh dunia dirilis PwC, sebanyak 45% di antaranya khawatir bisnis mereka tidak akan dapat bertahan dalam satu dekade ke depan tanpa adanya terobosan baru.
Tak heran, beberapa perusahaan teknologi telah menawarkan gaji yang besar untuk peran yang berhubungan dengan AI.
Sebut saja aplikasi kencan Match's Hinge sedang mencari wakil presiden AI dengan gaji pokok hingga $398.000 per tahun. Selain itu, Amazon juga menawarkan gaji tertinggi sebesar $340.300 untuk manajer senior ilmu terapan dan generative AI.
Dengan demikian, untuk tetap mempertahankan perusahaan karena biaya teknologi yang cukup tinggi, perusahaan bisa kembali melakukan PHK. Hal ini sudah terlihat dari PHK yang telah dilakukan oleh Google maupun Amazon.
International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan sebanyak 40% dari total pekerjaan di dunia akan terdampak oleh AI. Negara maju diprediksi menjadi yang paling terdampak oleh teknologi ini.
Kendati demikian, di sisi lain, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup di Indonesia (Amvesindo) meyakini hal yang terjadi di awal tahun seperti PHK, tidak selalu mencerminkan tren sepanjang tahun.
Bendahara Amvesindo Edward Ismawan mengatakan investasi pada perusahaan akan tetap ada, tetapi memang investor akan lebih tertarik pada perusahaan yang sudah matang daripada perusahaan tahap awal.
"Ada tren untuk berinvestasi pada startup yang tidak hanya menunjukkan inovasi, tetapi juga memiliki jalur yang jelas menuju profitabilitas," ujar Edward kepada Bisnis, Senin (1/1/2024).